Listen

My New Novel

Malam: Mari Kita Bersulang!

5:45:00 AM Nikotopia 0 Comments


untuk segelas mimpi yang kita teguk berdua
kau dan aku saling berkaca
untuk degup yang kita hayati bersama
kau dan aku; ayo berdansa!

menikmati wangi, kerlip seribu kunang-kunang, dan hangat membara
hingga kita temukan sesuatu terselip di dalam dada
yah, debar itu
rasakanlah. . .

mari bersulang kembali, menemukan kelopakkelopak ilahi
guguran dari sembilanpuluhsembilan nama gusti
dekaplah biar gelas mimpi ini terus terisi
hingga kita cemerlang menuju sejati

namun jangan biarkan mabuk merutuk
kepada kepala kita yang melulu sibuk
melarung saja pada aliran saat yang meliuk-liuk
hingga kita melepaskan doa di ujung kantuk

Serpong, 26 Maret 2011, 1:52WIB

0 comments:

Embun

4:52:00 AM Nikotopia 0 Comments


aku lahir dari dingin dan cemas malam
meringkuk tulus dipeluk helai rerumputan
aku memang setabah remang
sebab menantimu pada subuh yang mengoyak mimpi tiap pejam
  
dikedalamanku; bening, sebutir rindu paling hening
juga setetes rahasia yang baru kali ini aku mendambanya
serupa hasrat purba pemilik taman Babilonia

saat sulursulur cahaya matahari melesat
aku mulai menggeliat
menggelitiki hingga aku berkilauan
dan kutemukan tuhan membentang kesepian
  
maka pungut dan teteskan aku pada mekar luka di dadamu
agar luruh berguguran menjadi debu
sebelum tuhan mengecupku untuk baka, menguap
kuingin engkau tahu; tetesku adalah cinta yang tak'kan pernah lindap
  
(sajak di atas genteng rumah, dini hari, 01.07.2010)

0 comments:

Pada Semilir Angin

2:44:00 AM Nikotopia 0 Comments




Pemuda dan si Gadis duduk di atas rumput tepi bukit yang melandai turun. Belakangan ini bila berada dekat si gadis, kegugupan sering melanda pemuda itu. Sebab di dalam dadanya, ada debur rahasia bergelora, dan pemuda itu masih berusaha mencari cara. Mengurai buhul rahasia yang membelit hati, ke dalam bahasa yang dapat si gadis pahami.
Pemuda itu tidak mau menunda lagi. Ini saat paling tepat merangkai buhul rahasia itu ke dalam tiga kata sederhana. Pemuda itu berusaha keras menaklukan gelisah yang berkumpul menjadi keringat dingin di telapak tangan. Ia menghela napas, lalu menoleh ke arah si gadis. Si Gadis nampak begitu tenggelam dalam pikirannya. Tidak memedulikan anak-anak angin memberantaki rambutnya.
Menemukan si gadis menerawang jauh. Mendadak tiga kata sederhana yang sudah ada di ujung lidah pemuda itu, menguap lenyap. Pemuda itu tahu kemana hati dan lamunan si gadis berlayar. Sungguh ia tidak suka, namun ia tidak berdaya. Bila sudah berlabuh di sana, si gadis kelihatan muram dan tidak bahagia.
Gelembung lamunan si gadis buyar, ketika jemari pemuda itu menepuk pelan bahu si gadis, ia tersentak.
“Ah,” si gadis menoleh, dan berkata lambat-lambat, “Ma-maafkan, aku.”
Pemuda itu mengukir senyum maklum. Lalu untuk membayar kecanggungannya si gadis mengambil buku dongeng dari dalam tasnya.
“Mau, mendengarkan dongeng karanganku?” tanya si gadis perlahan.
Pemuda itu perlahan mengangguk, sambil terus menatap si gadis yang membuka halaman pertama buku dongeng itu. Pemuda itu tahu, si gadis memikirkan seseorang yang teramat ia cintai.  
“Karena kekasihnya tidak diketahui kemana perginya.” Si Gadis membaca setiap kalimat dengan lirih dan melankolis, “Si perempuan itu semakin tenggelam dalam sedih—” 
Kepergian kekasihnya meninggalkan cinta yang patah dan sepi. Si perempuan menitikkan airmata setiap hari. Hingga ia meminta pada angin untuk membawanya pada kekasihnya. Angin yang iba pun menyelimuti si perempuan. Lalu sang angin membisiki: kami akan membawamu ke tempat kekasihmu, tapi kamu akan kehilangan sesuatu. Si perempuan siap apapun syaratnya. Melihat dalamnya cinta si perempuan, angin pun membawanya mengembara mencari sang kekasih. Sampai di sebuah tempat, si perempuan begitu bahagia melihat kekasihnya. Namun nampak kekasihnya bergandengan tangan dengan gadis cantik. Si perempuan terkejut dan marah. Ia mendekati kekasihnya dan memeluk kekasihnya, tapi kekasihnya terus berjalan melaluinya. Tidak melihat keberadaannya. Bingunglah si perempuan. Angin kembali menyelimuti si perempuan dan membisiki: Engkau sudah pernah siap kehilangan, maka inilah kehilanganmu. Si perempuan meluruhkan airmata menatap kepergian kekasihnya, sang angin kembali berkesiur; Janganlah bersedih, ikutlah bersama kami membawa bisikan-bisikan sepi manusia keliling dunia. Dan Angin pun menjadikan si perempuan sebagai Dewi Angin.  
Si gadis menghela napas pedih, merasakan cahaya senja mulai memadam ditelan gelap malam.
“Andai aku Dewi Angin. Pasti aku bisa pergi ke mana pun. Dan menemukan dia.”
Pemuda itu mengerutkan alis, ia tahu siapa yang dimaksud si gadis, “Ikh-an?
“Ya,” bisik lirih si gadis sambil menatap angkasa, “Ivan.” si gadis tiba-tiba tergugu dan guguran bening airmata luruh begitu saja.
Pemuda itu ikut miris merasakan kesedihan si gadis. Namun kata-kata yang keluar dari bibir si gadis, membuat hatinya patah jadi dua. Entah mengapa ia merasa sia-sia. Bila ia mengatakan tiga kata sederhana miliknya, semua serasa percuma. Pemuda itu tahu, Ivan masih Pangeran yang duduk di singgasana hati si gadis. Dan itu tidak akan pernah tergantikan. Pemuda itu merasa sia-sia. Merasa merana.
* * * *
Selama ini demi melihat sekuntum senyum si gadis, pemuda itu rela melakukan apa saja. Setiap hari—kecuali hari minggu—pukul setengah tujuh pagi. Terdengar denting bel sepeda tua berkeranjang di depan. Pertanda pemuda itu sudah memamerkan senyum lebar dibalik pagar depan rumah si gadis. Terkadang sepedanya dihiasi seikat alang-alang, kertas warna-warni, atau pemuda itu mengenakan topi jerami ala petani sambil tersenyum konyol. Dan itu cukup membuat si gadis meletupkan tawa.
Pemuda itu makin bersemangat memboncengi si gadis menuju sekolah. Begitu jam pulang sekolah berdentang, dibawah teduhnya pepohonan pemuda itu sudah menanti. Bahkan pernah hujan badai, pemuda itu menerjang, hanya untuk membawakan si gadis mantel hujan dan payung besar. Tidak ada yang sanggup menggoyahkan usaha pemuda itu. Semua demi sekuntum senyum si gadis.
Banyak orang bertanya-tanya tentang keakraban mereka. Bagaimana bisa gadis secantik yang memiliki segalanya itu, mau berteman dengan pemuda yang sedari kecil tidak bisa mendengar dan dari mulutnya hanya bisa keluar erangan atau huruf vokal yang tidak enak di dengar telinga. Pemuda yang dijauhi tetangga-tetangganya. Sebab ibunya, setiap malam kerjanya hanya duduk di warung kopi langganan pinggir jalan, menawarkan setiap laki-laki yang ada dibalik celana dalamnya. Si gadis tidak peduli. Keberadaan pemuda itu membuatnya memiliki sahabat tiada duanya. Itu cukup. Tidak peduli lagi dunia bilang apa.
          Bagi pemuda itu, si gadis adalah malaikat yang membawa keajaiban ke dunia sunyinya. Pernah suatu hari si gadis mengajak pemuda itu ke sebuah tempat aneh. Pemuda itu bingung melihat etalase kaca tempat itu memajang banyak telinga. Apalagi si gadis menyuruhnya duduk di bangku aneh dengan peralatan yang tidak ia ketahui. Pemuda itu mengira si gadis membawanya ke tempat dimana telinganya akan dipotong. Pemuda itu menghamburkan jeritan ketakutan, ketika seorang pria dewasa berpakaian putih dan bau bersih memegang telinga pemuda itu. Si gadis sedikit kewalahan, terus berusaha meyakinkan, bahwa telinganya tidak akan dipotong. Si gadis berjanji akan membelikannya sesuatu setelah pergi dari tempat aneh itu. Pemuda itu pun memercayai ucapan si gadis. Janji si gadis tidak pernah ingkar, diajaknya pemuda itu ke toko buku. Membelikannya beberapa buku bergambar dengan huruf alfabet dan buku-buku dongeng. Si gadis berharap, kelak pemuda itu bisa membaca, mengenal makna, agar dapat berbicara dengan banyak kata.
Seminggu sejak kejadian itu, setiap sore di bukit, si gadis mengajarinya berbicara. Pemuda itu belajar menyebut nama si gadis dengan baik.
“Wri-ah-na,” ucap pemuda itu, mulutnya sedikit lelah mengulang-ulang menyebut nama si gadis.
Si gadis mengacungkan dua jempol dan tersenyum bangga, seolah pemuda itu baru saja memenangkan kontes bicara sejagat. Sebagai usaha keras pemuda itu, si gadis menyodorkan kotak berwarna biru tua dan menyuruh pemuda itu membukanya. Pemuda itu terbengong-bengong melihat apa yang ada di dalam kotak. Adalah alat pendengar yang dipesan si gadis telah jadi. Perlahan si gadis mengambil alat itu dan memasangnya pada telinga pemuda itu.
“Test-test, halo apakah kamu bisa mendengar aku?” tanya si gadis khawatir melihat pemuda itu nampak mematung.
Untuk kali pertama pemuda itu tercenung. Tidak memercayai telinganya dapat menangkap suara. Dengan cepat lengan pemuda itu melingkari tubuh si gadis. Hanya itu yang bisa ia beri atas hadiah si gadis. Si gadis mengelus lembut punggung pemuda itu.
Dunia selalu berubah, hari tidak pernah ada yang sama. Pemuda itu bersemangat mengayuh sepedanya menjemput si gadis. Sampai di depan pagar rumah si gadis, ia membunyikan bel sepeda dan menunggu si gadis keluar rumah. Tiba-tiba dari ujung jalan, datang mobil mewah berwarna merah mengilap. Mobil itu dengan anggun berhenti di depan rumah si gadis. Dari dalam mobil keluarlah pemuda tampan bak pangeran. Ivan. Bertubuh jangkung dan bermata sebiru samudera. Ivan melewati pemuda itu dengan memberikan anggukan kepala sopan. Lalu masuk ke teras rumah si gadis, memencet bel rumah. Si gadis keluar dengan rekahan senyum di wajahnya yang berbinar cerah, seolah matahari menyorot wajah si gadis.
Canggung, si gadis menghampiri pemuda itu yang sudah berada di balik pagar. Sambil meremas kedua tangan pemuda itu, si gadis meminta maaf, karena tidak bisa ikut sepeda pemuda itu. Si gadis berjanji, sepulang sekolah nanti ia akan menunggu pemuda itu di bukit. Pemuda itu tersenyum, menatap si gadis masuk ke mobil Ivan, lalu meluncur pergi. Hingga mobil itu menghilang di kejauhan, pemuda itu baru beranjak pulang.
Di bukit pemuda itu menunggu si gadis hingga sore tamat. Si gadis tak jua datang. Tanpa ragu kakinya melangkah ke rumah si gadis. Di sana, mobil merah Ivan terpakir di tepi jalan. Dari balik pagar, pemuda itu mendapati pemandangan yang ada di balik jendela ruang tamu. Si gadis dan Ivan saling duduk mesra. Pemuda itu tersenyum tegar, lalu melangkah pulang.
Tugas mengantar dan menjemput si gadis, kini menjadi tugas Ivan. Meski begitu, tiap setengah tujuh pagi pemuda itu tetap datang sekedar membunyikan bel sepeda dan mengantar si gadis berangkat sekolah dengan senyum lebar. Rutinitas itu telah menjadi eksistensi. Terkadang bonus senyum si gadis, makin membuatnya merasa berharga. Ia tahu Ivan adalah Pangeran yang kini bertahta di hati si gadis. Ivan yang kini selalu menjadi payung dari hujan badai, dari sengat matahari, dan pemuda itu pun bisa melihat Ivan begitu melindungi si gadis. Baginya, si gadis bahagia itu lebih dari cukup, meski seribu jarum menusuki hatinya. Tidak apa-apa. Pemuda itu memaksakan bibir mengurai senyum bahagia.
Dunia selalu berubah, dan hari tidak pernah ada yang sama. Dari kejauhan pemuda itu melihat si gadis bertengkar dengan Ivan. Buru-buru Ivan masuk ke dalam mobil merahnya dan melaju pergi. Pemuda itu menatap si gadis penuh arti. Si gadis yang ditatap seperti itu, bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi dan mengajaknya untuk berangkat sekolah. Pemuda itu merasakan si gadis yang duduk di sadel belakang, terisak tanpa suara. Pemuda itu memilih diam.
Dua minggu kemudian, di bukit, si gadis menumpahkan cerita. Semenjak hari pertengkaran mereka, kini Ivan telah pindah sekolah, tanpa ada kabar dan berita. Si gadis sudah mencoba berbagai cara, menelepon dan mengirimi surat elektronik pada Ivan. Tapi semua itu percuma, tak ada satupun balasan dari Ivan. Si gadis mengajak pemuda itu mengunjungi rumah Ivan, namun sampai di sana, suwung. Rumah Ivan nampak kosong. Si gadis memanjat pagar besi, tidak memedulikan roknya yang tersangkut dan robek. Sampai di pintu si gadis mengedor-gedor dan mengintip lewat jendela. Ternyata Ivan dan keluarganya pun telah pindah lama. Hingga kini, si gadis tak menemukan jejak Ivan. Pun setitik keberadaannya. Si gadis benar-benar remuk kehilangan kekasih hatinya.
Dunia si gadis yang tadi tersentuh warna-warni, kini abu-abu. Sebulan berlalu, pemuda itu tidak rela melihat wajah si gadis begitu tirus dan pucat.
“Aku belum bisa melupakan, Ivan.” Bisik si gadis, lalu menaiki jok belakang sepeda.
Lalu mereka berangkat sekolah dilingkupi keheningan yang menyesakkan.
* * * *
Selalu si gadis menatap kejauhan penuh kekosongan, seolah si gadis mengembara jauh. Barangkali mencari Ivan. Lalu di atas kepala mereka berdua, bintang kejora berkerlip rapuh di angkasa barat, dengung adzan maghrib di kejauhan memenuhi udara. Pemuda itu berbisik memanggil si gadis. Si gadis menoleh dengan wajah datar. Pemuda itu mengulurkan tangan pada si gadis, membantunya berdiri. Si gadis menatap kedua mata pemuda itu, ada ketulusan di sana.
“Terima kasih ya, kamu selalu ada untukku. Maafkan aku, bila aku tidak bisa menjadi apa yang kau dambakan.” Ucap si gadis, terdengar pedih.
Pemuda itu mengangguk, dan mengantar si gadis pulang. Di depan rumah, mendadak si gadis memeluk erat pemuda itu dan berbisik; Jagalah dirimu baik-baik.
Pemuda itu mengerutkan alis, tidak mengerti arti ucapan si gadis.
Si gadis melepaskan pelukan, menaruh tangannya di pipi pemuda itu. Matanya begitu hangat, lalu si gadis melangkah masuk, dan melambaikan tangan selamat tinggal.
“Ham-pai, keth-mu, bekh-sok.” Pemuda itu membalas melambai.
Sebelum menutup pintu, untuk terakhir kalinya si gadis merekahkan sekuntum senyum bahagia. Pemuda itu mengayuh pulang sepedanya. Berharap dalam hati, besok si gadis bisa tersenyum lebih cerah ketika pemuda itu membocenginya.
* * * *
Pagi terasa sangat tidak biasa. Ketika pemuda itu mengayuh sepedanya menuju rumah si gadis. Pemandang disekelilingnya dan semua benda yang tertimpa sinar matahari nampak begitu cerah. Udara pun terasa begitu berbeda. Aneh rasanya.
Dari kejauhan pemuda itu melihat keramaian di depan rumah si gadis. Buru-buru ia mengayuh cepat. Matanya tertumbuk pada karangan bunga yang sudah berjejer rapi bertuliskan nama si gadis di depan pagar. Pemuda itu menuntun sepedanya. Seorang pria dewasa berwajah lelah yang seolah menunggu pemuda itu sedari tadi, mendekatinya. Pemuda itu mengangguk sopan, mengenal pria itu, ayah si gadis.
“Nak, maaf. Hari ini kamu tidak bisa mengantar Riana sekolah.”
Pemuda itu bingung, “Kekh-na-fah?”
“Begini, Nak.” Pria itu sejenak terdiam, mencari cara untuk menjelaskan pada pemuda itu, “Tadi malam, Riana, bunuh diri. Dia sudah tiada, meninggal dunia.”
Pemuda itu bingung. Mendadak waktu seolah membekukan pemuda itu. Kilasan-kilasan saat bersama si gadis, sekuntum senyum si gadis, semua melintas di benaknya. Tiba-tiba semua itu dirampas paksa darinya, meninggalkan lubang yang menganga di hati. Tubuh pemuda itu bergetar.
“Wri-akh-na,” Serak pemuda itu memanggil tidak rela, “Wri-akh-na.”
“Nak, Riana sudah tidak ada.” Kata pria dewasa itu tersendat-sendat, menahan kesedihan yang membludak di matanya.
Pemuda itu segera menaiki sepedanya menuju bukit. Si gadis pasti ada di sana, pikir pemuda itu. Di jalan mendaki pemuda itu menjatuhkan sepedanya dan berlari menyibak alang-alang. Sampai di sana, tak ia temukan siapa-siapa. Hanya ada pagi yang masih tidak biasa. Penuh kepedihan pemuda itu meraung marah. Barangkali pada Tuhan. Tubuhnya melorot, bersujud di tanah. Air di kedua matanya membasahi pipi dan terasa asin di mulut. Ia memukul-mukul tanah, tidak memercayai si gadis mengakhiri Hidupnya hanya demi Ivan, kekasih hatinya yang entah berada di mana.
Padahal ia berusaha membuat si gadis bahagia, sebab si gadis telah memberinya banyak keajaiban dalam hari-harinya. Pemuda itu memeluk tubuhnya sendiri, teringat tiga kata sederhana yang belum sempat ia hadiahkan pada si gadis. Ketika embus angin melesat memberantaki rambutnya. Sesaat pemuda itu tercenung, ingatannya tertumbuk pada dongeng Dewi Angin. Mengikuti intuisinya, buru-buru ia selipkan bisikan tiga kata sederhana miliknya pada semilir angin. Entah mengapa ia percaya angin itu pasti membawa tiga kata sederhananya pada si gadis.
          “A-khu, zhi-ha, Wri-ah-na.”
          Aku, cinta, Riana.           
* * * *
Takdir angin adalah bebas-lepas mengembara. Berkelana menuju tempat-tempat sunyi. Menempuh jauh, mengelilingi dunia. Hingga angin berkesiur, menyeberangi samudera, lalu tiba di sebuah jendela yang terbuka. Pemuda tampan itu mendongak dari buku bacaannya. Mata sebiru samudera itu mendarat ke arah jendela kamarnya. Dari sana sekelebat telinganya menangkap suara seseorang memanggilnya. Suara yang teramat familiar. Ia beranjak melintasi ruangan, lalu membuka jendela lebih lebar. Bersamaan mekarnya kemilau keemasan matahari sore di langit, semilir angin menerobos masuk. Menerpa tubuh Pemuda tampan itu. Ia tersentak. Telinganya mengenali suara yang melintas. Suara merdu pada semilir angin. Akhirnya, aku menemukanmu, Ivan.
Pemuda tampan itu berbisik tidak percaya, “Riana.”[]

Solo-Jakarta, 2010-2011




0 comments:

I Found Something Beautiful

12:50:00 AM Nikotopia 1 Comments

This beautiful pictures, representing my deep feeling to Universe, to Life and to My Mother.






 

My Mother taught me to how to be Brave to face anything, how to be Pure, how to be Down To Earth, how to be a Good Man.

I Do Cry Down On My Knees.
Knowing that, in every pray that you whisper, Mom. You whispering a name. My name. To Universe, to God. When i was young, you guard me, you protect me, you give me love, you give your Life, just for me. And i will give that way back to you, when you're need me, everytime, Mom. 
  
And I Remember A Poem "A Father Prayer"
From General Douglas Mac'Arthur

 *
Build me a son, O Lord, 
who will be strong enough to know when he is weak, and brave enough to face himself when he is afraid; one who will be proud and unbending in honest defeat, and humble and gentle in victory.

Build me a son 
whose wishbone will not be where his backbone should be; a son who will know Thee….Lead him, I pray, not in the path of ease and comfort, but under the stress and spur of difficulties and challenge. Here let him learn to stand up in the storm; here let him learn compassion for those who fail.

Build me a son 
whose heart will be clean, whose goal will be high; a son who will master himself before he seeks to master other men; one who will learn to laugh, yet never forget how to weep; one who will reach into the future, yet never forget the past.

And after all these things are his, 
add, I pray, enough of a sense of humor, so that he may always be serious, yet never take himself too seriously. Give him humility, so that he may always remember the simplicity of greatness, the open mind of true wisdom, the meekness of true strength.

Then I, his father, 
will dare to whisper, “I have not lived in vain.”

*
 
Doa untuk Putraku

Tuhanku...
 
Bentuklah puteraku menjadi manusia yang cukup kuat untuk mengetahui kelemahannya.  
Dan, berani menghadapi dirinya sendiri saat dalam ketakutan.
Manusia yang bangga dan tabah dalam kekalahan.
Tetap Jujur dan rendah hati dalam kemenangan.

Bentuklah puteraku 
menjadi manusia yang berhasrat mewujudkan cita-citanya
dan tidak hanya tenggelam dalam angan-angannya saja.
Seorang Putera yang sadar bahwa
mengenal Engkau dan dirinya sendiri adalah landasan segala ilmu pengetahuan.

Tuhanku...
Aku mohon, janganlah pimpin puteraku di jalan yang mudah dan lunak.
Namun, tuntunlah dia di jalan yang penuh hambatan dan godaan, kesulitan dan tantangan.
Biarkan puteraku belajar untuk tetap berdiri di tengah badai dan senantiasa belajar
untuk mengasihi mereka yang tidak berdaya.


 Ajarilah dia berhati tulus dan bercita-cita tinggi,
sanggup memimpin dirinya sendiri,
sebelum mempunyai kesempatan untuk memimpin orang lain.

Berikanlah hamba seorang putra
yang mengerti makna tawa ceria
tanpa melupakan makna tangis duka.

Putera yang berhasrat
Untuk menggapai masa depan yang cerah
namun tak pernah melupakan masa lampau.

Dan, setelah semua menjadi miliknya...
Berikan dia cukup Kejenakaan
sehingga ia dapat bersikap sungguh-sungguh
namun tetap mampu menikmati hidupnya.


Tuhanku...
Berilah ia kerendahan hati...
Agar ia ingat akan kesederhanaan dan keagungan yang hakiki...
Pada sumber kearifan, kelemahlembutan, dan kekuatan yang sempurna...
Dan, pada akhirnya bila semua itu terwujud,
hamba, ayahnya, dengan berani berkata "hidupku tidaklah sia-sia"


And Now Let My Heart bow for you Mother.

"I Really Love You"

1 comments:

3B

3:23:00 AM Nikotopia 0 Comments



Entah mengapa di telapak tanganmu; Saya menjelma badai ganas yang memporak-porandakan seluruh daratan, menjelma seekor kupu kecil bersayap kristal terbungkus bias pelangi saat berkepak bebas-lepas membumbung tinggi diantara dedaunan pohon-pohon purba tanpa membawa penderitaan, menjelma hujan yang luruh memahat tubuh agungmu dengan milyaran jarum rintiknya. Dan di telapak tanganmu; saya menjelma Maria Magdalena yang menanamkan benih mulia sebiji sesawi di kalbu kala memberikan cawan hatinya pada seorang lelaki kudus dari Nazareth.

Betina.
Sialan! Kenapa saya tak sanggup menghapus bayanganmu? Padahal sudah dua bungkus rokok plus tiga kaleng bir saya habiskan, wahai lelaki yang datang dari suatu nun yang telah membangkitkan Betina paling kasmaran dalam diri saya. Kenapa sel-sel kelabu otak saya selalu melukiskan gurat wajahmu kemudian menari liar dalam kepala saya? Bahkan saya selalu menemukanmu bertaburan dimana-mana, merekahkan sekuntum senyum; di antara lalu-lalang mobil-mobil jalanan yang plat nomornya bertuliskan RA. Di salah satu tokoh dalam roman percintaan yang tragis ending-nya. Mendenting lembut di lagu The Second You Sleep—Saybia yang membuncah ruang hening sukma. Dan dikehangatan Matahari yang seberkas cahayanya memulas angkasa timur dengan cerlang fajar nila. Oh, Hyang Gusti, sungguh ini sebuah melankolia. Saya butuh obat penawar, Elixir1, atau sesuatu yang bisa mencegah saya terserang penyakit putus-asa.
Saya layangkan pandangan ke udara, asap rokok yang saya hembuskan lindap dilahap senyap. Pada malam-malam jahanam seperti ini, ketika dunia terbaring dibuai mimpi. Saya merasa sangat sepi, merasa sendiri. Tiba-tiba saja, sebentuk kenangan datang menghantui. Kenangan 4 tahun lalu, ketika saya berkenalan dan memenjara perasaan saya pada lelaki itu. Kami bertemu di tingkat paling atas Candi Borobudur, kala itu matahari senja menghiasi cakrawala dengan warna semburat keemasan yang memukau. Dapat saya rasakan sinar hangatnya membelai punggung saat mata saya tertuju pada wajah teduh patung Buddha dalam samadinya. Saya terpesona, hingga–
“Ah, betapa damai mendengar Sang Buddha melantunkan mantra.”
Kuping saya menangkap suara asing yang tidak saya kenal, saya berbalik dan mendapati seorang lelaki gagah, beranting bulu elang di telinga kirinya dan berpakaian lusuh hitam, berjalan santai ke arah saya.
          “Ma-maaf, saya tidak mengerti maksud anda.”
Dia mengernyitkan dahi, “Anda tidak mendengar suara Buddha melantunkan mantra?” Saya menggeleng pelan. Tanpa sungkan-sungkan dia meraih kedua tangan saya lalu menangkupkannya sambil membimbing tangan saya untuk ditaruh di depan dada, “dengarkan baik-baik dan sedikit berkonsentrasi.”
Entah kenapa saya mau saja mencoba mengikuti perintahnya. Untuk beberapa jenak saya tidak mendengar apapun kecuali desir angin yang mengelitik telinga. Lalu–
Saya tersentak. Di antara desis angin, semayup terdengar suara menguar keluar dari patung Sang Buddha dihadapan saya. Ia menyenandungkan mantra suci nan melodius: Om Mani Padme Hum. Om Mani Padme Hum. Om Mani Padme Hum2.
Saya menoleh ke arah lelaki itu melemparkan pandangan tidak percaya, bagai Yasoda yang tidak memercayai di mulut Kresna kecil ia mendapati masa lalu, masa kini, masa depan, Alam Semesta dan dirinya. Lelaki itu menembakkan senyum paling damai. Saya memandang matanya yang begitu teduh. Saya berkaca di sana, merasa utuh, rasanya ada kepingan puzzle yang hilang melengkapi susunan hati.
          “Benarkah suara ini berasal dari—” dia mengulurkan tangannya mengajak saya berjabat tangan.
“Respati.”
Saya mengerutkan dahi.
“Nama saya Respati. Respati Galang Swastika Aji.”
Ketika telapak tangan kami bertemu, entah mengapa saya menjelma badai ganas, kupu kecil, hujan luruh, dan Maria Magdalena. Seutas senyum sekonyong-konyong terburai begitu saja di bibir saya. Desir-desir kehangatan menyusup ke dada. Siapakah engkau, wahai lelaki yang datang dari suatu nun yang telah membangkitkan Betina paling kasmaran dalam diri saya? Adakah engkau Roh yang mengembara ke pelosok belantara asing hingga tersesat di dunia ini? Adakah engkau hadir untuk membunuh kesepian yang lama mengerak di diri?

Bitch.
Ia terkejut ketika pintu kamarnya terbuka dan perempuan pucat yang tak memiliki sehelai pun rambut di kepala, memergoki dirinya melakukan hal yang bagi perempuan itu adalah aib. Ia gemetar ketakutan berdiri membelakangi cermin.
“I. . . Ibu.”
Gelombang ketidakpercayaan menjalari setiap ujung tubuh perempuan itu. “Apa yang kau lakukan, Hah! Apa yang kau lakukan!!” lolong Ibunya meruntuhkan kesunyian yang menyergap mereka, kemudian merangsek masuk dan melepas paksa baju yang dikenakannya. “Ibu tidak percaya kau berbuat seperti ini!”
“Ampun, Ibu. Maafkan saya, Ibu.” Buru-buru ia bersimpuh memeluk kaki Ibunya,
Meledakkan sedu-tangis paling pilu. Napas Ibunya tersengal-sengal tak keruan, merasakan amarah dan kekecewaan bergumul-baur di lubuk terdalam. Kedua mahluk fana itu terbungkus keheningan yang canggung. Hati Ibunya mencelos, tanpa terasa dua cairan hangat turun menggores bukit pipi dan setiap tarikan napas meninggalkan sayatan teramat perih. Kepedihan tak terperi terlukis di wajah mereka berdua.
“Kenapa nak, kenapa kau lakukan ini.” Ibunya mengerang sedih.
Semenjak kejadian itu ia menjadi seorang yang pendiam. Tak selang beberapa bulan, kidung requiem memenuhi ruang tamu rumahnya. Menyelimuti tubuh kaku Ibunya dengan nada-nada sendu. Perempuan itu moksa, sebab kanker payudara yang bersemayam lama. Ketika upacara penguburan selesai, perlahan ia menengadahkan kepala. Menatap awan-awan kelabu bergerak membentuk wajah ayu Ibunya yang terbang menjauh entah kemana, sembari meneteskan butir-butir besar airmata. Pelan-pelan air mata Ibunya berganti gerimis, menyusup masuk ke sekujur tubuhnya. Ia kuyup. Membiarkan airmata dan kepedihannya menyatu dengan hujan yang membasahi Bumi. Sebab baginya, kehilangan seorang Ibu sama seperti tidak ada Matahari yang menyinari Jagad Raya ini.

* * *

Ibu. . . saya datang lagi, menyambangi kubur sunyimu. Untuk memohon restu karena saya telah memiliki payudara ranum seperti milikmu. Maafkan anakmu ini yang senantiasa menaruh batu-batu penderitaan dibatinmu. Apalagi ketika engkau memergoki saya yang berumur tujuh-belas tahun sedang berdandan mengenakan make-up, kutang, serta daster milikmu. Saya ingat, sehari setelah kejadian itu, sebelum saya mengunci rapat segala hal memalukan—yang bagimu adalah aib—dalam kerahasiaan kamar dan guling. Dengan nada bangga saya memberanikan diri untuk mengatakan; bahwa saya adalah Betina, sama seperti Ibu. Engkau menghentikan laju tanganmu yang hendak menghisap rokok di ruang tamu, lalu tegas berkata; “Tidak anakku, kau adalah matahari yang bersinar perkasa. Arjuna yang melesatkan anak panahnya untuk membunuh para Kurawa.” Hmm tidak, Ibu, balas saya lembut. Saya adalah bulan purnama. Srikandi yang gemulai menari indah dibawah siraman sinar peraknya. Engkau membelalakan mata, geram terdengar jelas dalam aliran suaramu sesaat sebelum engkau membalas pernyataan saya dengan raungan; Kau adalah laki-laki dan memiliki penis, titik! Ah, ini hanyalah tubuh, Ibu, saya terus bertahan pada keyakinan saya. Mendadak engkau melucuti seluruh benang yang menempel di seluruh tubuh saya. “Lihat! Kau memiliki penis, kau laki-laki!!” Saya menyadari betapa kelakuan saya adalah pasak kekecewaan yang menghunjam di jiwamu.
          Ibu. . . jujur saja, sejak kecil saya sudah memendam hasrat ingin memiliki payudara ranummu. Sering pada pekat malam terkutuk, seusai engkau memuaskan nafsu pejantan yang engkau bawa dari jalanan. Saya membayangkan; berjingkat diam-diam mengambil pisau di dapur untuk mengiris kedua payudaramu yang terbaring telanjang. Lalu memasangnya pada dada saya. Pun tanpa ragu memotong penis saya, memberikan torehan dalam agar menjadi kuncup mungil bunga, bunga vagina. Sedikit sihir make-up, saya menjadi Betina. Dengan bangga saya melenggang keluar, mengambil posisimu yang berjuang mencari uang untuk kebutuhan, menjajakan diri diperempatan jalan. Mentransformasikan tubuh sebagai pasar; sebuah tempat di mana para lelaki hidung belang bisa menuntaskan letupan birahi paling ganas, serta menemukan seremah firdaus nan liar di lorong vagina dan liang dubur saya.
Tak hanya itu. Agar keparat macam Ayah yang seenaknya meninggalkan kita, sebab kawin lari dengan perawan muda, tahu! Kalau kita bisa Hidup! Tanpa sepersen pun uang yang katanya hasil jerih payahnya. Padahal uang yang dia cari tidak dapat membiayai saya sekolah ataupun makan sebulan kita. Juga kebanggaan saya menjadi anakmu, Ibu. Tidak peduli dulu, ketika saya masih duduk di bangku sekolah. Sering selesai pelajaran bahasa inggris, teman-teman sekelas mengejek saya beramai-ramai “Your mother is a bitch, you’re son of a bitch.” berulang-ulang. Sebab ibu mereka memberitahu, Lonte adalah pekerjaan Ibu.
Tapi tahukah engkau, Ibu? Anak yang katamu laki-laki ini telah membaptiskan diri sebagai Bidadari, menyangkal setiap gerak laki-laki, menghapus nama asli dan menyematkan nama 3B. Barangkali jika engkau masih Hidup di dongeng terkutuk ini, saya yakin engkau segera mendaftarkan diri ke rumah sakit Jiwa. Tahukah engkau kenapa saya begini, Ibu? Adalah perjaka kasmaran bernama Respati. Saya begitu mendambanya. Jujur Ibu, sesuatu yang telah lama saya cari saya temukan di telapak tangannya.
Dan petang ini, setelah mengumpulkan keberanian, kami akan bertemu kembali di Candi Borobudur. Di sana, akan saya tumpahkan seluruh isi mangkuk perasaan saya yang sangat dalam. Lebih dalam dari apapun. Sesuatu yang tak terbinasakan. Sesuatu yang dimiliki setiap mahluk tuhan dalam ruang hatinya. Perasaan ini bagaikan burung-burung dalam sangkar, akan lepas-bebas tak lama lagi.

Banci.
“3B,” (baca; three-be/tribi) kata saya dengan nada genit menggoda. Begitulah saya tiap kali berkenalan dengan pejantan mesum yang akan menjadi langganan saya. Kerap seusai bercinta, langganan saya bertanya, “Kenapa harus 3B? Kenapa nggak Ela, Inda, atau Desy. Itu terdengar wajar. Atau kamu kepingin jadi ‘Miss Universe’ tapi tidak kesampaian, iya? Karena peraturannya harus 3B; Brain, Behaviour, Beauty, bukan Banci?”
Saya mendengus kesal, “Sayangnya, nama saya itu bukan hasil comotan dari slogan untuk produk ajang mengkomersilkan kecantikan.”
“Lalu?”
Saya tersenyum samar, “I will kill you, if you know the meaning of my name.” Ujar saya dengan nada yang mengatakan, hak prerogatif saya memilih nama itu. “Lagipula apa segitu pentingnya nama saya bagimu, padahal saat kita bercinta semalaman kau mendesah-desahkan nama kekasihmu.”
Wajah pelanggan saya memerah, semerah kepala penisnya yang berdiri tegang ketika bercinta. Sementara pelanggan saya yang berbaring telanjang di samping saya merasa jengah, seketika kepingan-kepingan Respati hadir menghubungkan diri saya pada kenangan itu.
Kenangan di puncak Candi Borobudur, kala saya menelanjangi jiwa saya dihadapannya. Namun sayang, selesai menyampaikan keseluruhan inti perasaan saya. Lirih Respati berkata, “Maafkan aku 3B, aku tak memiliki perasaan yang sama kepadamu.”
Hati saya terparut pedih. Segera dia berlalu, melangkahkan kaki beranjak pergi ke suatu nun yang tak pernah saya ketahui. Buru-buru saya meraih wajahnya dan meninggalkan jejak bibir saya pada bibirnya. Dia hanya diam saja. Dari sorot mata layunya, saya memahami; betapa bodohnya saya ini. Respati tidak mungkin menyimpan perasaan seperti saya, dan tak mungkin menyatukan jalur Hidupnya dengan saya. Sejak itu saya tak pernah lagi mendengar kabar tentangnya. Semua hubungan saya ke dirinya terputus. Sejak dia pergi, berkali-kali saya mencoba, tapi saya tak pernah bisa lagi mendengar mantra nan melodius Sang Buddha.
Oh, Respati, seumur hidup saya tak pernah menyesali sesuatu yang selamanya bergolak dalam lubuk ini. Meski hingga kini saya bagai bola kaca yang gempil. Bagai Narcissus yang merasa hampa, sebab kehilangan bayangannya dalam riak danau saat ia hendak berkaca. Kini, saya benar-benar merasa sepi. Dunia diluar sana boleh saja terus berputar menebarkan hiruk-pikuk mimpi. Tapi dalam dunia kecil saya, semua sudah tak berarti. Waktu saya telah berhenti. Mati. Tiada seorangpun merasakan sepi seperti yang saya rasakan kini.
Selirih doa saya dengungkan dikekosongan Candi hati;
Oh, Hyang Gusti;
gunung batuku, kubu pertahananku,
perisai bajaku, tempat aku berlindung.
Saya tahu, kita semua tidak bisa memilih untuk dilahirkan sebagai atau apa. Tetapi, kelak bila saya undur diri dari Hidup penuh kutuk ini, lilitkan saya pada belitan rantai Samsara3, Gusti. Biarkan saya layaknya burung Phoenix yang membakar diri untuk mengada lagi. Dan baptiskan saya menjadi bidadari perawan paling kasmaran. Karena pada telapak tangannya; Saya menjelma Maria Magdalena yang menanamkan benih mulia sebiji sesawi di kalbu kala memberikan cawan hatinya pada seorang lelaki kudus dari Nazareth. Pedih ini tak terperi. Saya terlalu mendambanya, tak ada mahluk yang lebih saya idamkan selain Respati. Lelaki yang telah membangkitkan Betina paling kasmaran dalam diri saya.
Pelanggan saya menepuk bahu saya, menyadarkan saya dari semesta lamunan.
“Hey, kok melamun.” Lalu tangannya beranjak mengusap-usap punggung saya
“Emm. . . tidak kok.”
“3B,”
“Ya.”
“Aku kepingin bercinta lagi.”


~o)O(o~

Solo, April 2007

 Catatan :
1.     Obat yang bisa menyebuhkan segala macam penyakit.
2.     Intan dalam inti Teratai
3.     Reinkarnasi (kelahiran kembali)

Saya dedikasikan Cerita ini untuk para 3B, Lesbian, Gay, dan Seluruh Wanita yang pernah atau sedang mengidap Kanker Payudara. Hidup memang memberikan kado kejutan yang tidak pernah kita duga, mari kita nikmati bersama.


0 comments: