Listen

My New Novel

Remember A Farewell

5:36:00 AM Nikotopia 0 Comments

Hari itu adikku paling kecil, akan pergi meninggalkan rumah ini bersama ayah, ibu dan kakak perempuannya. Mereka semua pindah ke suatu kota kecil. Kota yang dekat desa tempat aku lahir dulu. Itu adalah bulan September yang mengerikan, mengingat hawa panas, dan rumah yang mengaum, lewat kenangan-kenangan yang melintas di benak.

Adik kecilku, Galuh, nampak berbaring di kasurnya. Ia terdiam lama, saat ibunya memanggilnya berulang kali dan ia hanya diam. Maka aku memasuki kamarnya yang selama ini tempat ia tidur, tempat bermain bahkan mungkin tempat teraman dari dunia yang kejam. Entah mengapa, aku merasa bahwa ia diam, itu caranya dia mengucapkan selamat tinggal pada rumah ini. Ia baru 5 tahun, dan aku masih mengingat bagaimana rasanya menjadi anak umur lima tahun. Dimataku dunia saat itu sngat menakjubkan, seolah keajaiban ada di udara, dan bisa mengabulkan setiap keinginan.

Perlahan aku mendekat, mengelus ujung kasur, aku memberi tanda pada Galuh bahwa aku mendekat. Namun ia masih berbaring menyamping memunggungiku. Aku pun sunyi, berharap mendengar sedu kecilnya, tetapi aku tidak mendengarnya menangis. Aku hanya melihatnya terdiam. Aku menerjemahkan ia sedang mendengarkan banyak suara di dalam rumah ini. Suara-suara kita, Ayah, Ibu, aku, Niki dan Tami. Gema masa lalu yang sedang ia serap. Ia akan bawa ke rumah barunya nanti, dan menguarkannya di sana.

Aku memahami hal ini sebab aku pun seperti itu. pada sebuah perpisahan, aku akan menyerap segala kenangan. Membawanya hingga kelak nanti. Dan anak-anak kecil selalu memiliki hal yang menakjubkan. Sayangnya mata orang dewasa menganggapnya hal itu keanehan, atau ada yang terpukau. Mereka telah lupa bahwa mereka pun sebenarnya masih kanak, hanya tubuh yang menua.

Pelan aku memanggilnya. “Galuh...”
Galuh pun bergerak, dan membaringkan tubuhnya rata dengan kasur. Aku melihat wajahnya yang sendu. Matanya, sedikit berkaca-kaca, semua kenangan akhirnya telah ia serap dan ia bawa. Aku meraih tubuh mungilnya, dan memeluknya erat.

Sesak di dadaku begitu menghimpit, aku ditekan oleh banyak kenangan bersamanya, banyak hal indah dan bahagia serta hal sedih yang mengikat kita berdua.

“Galuh bakal kangen rumah ini.”

Aku pun akan kangen padamu, Galuh kecilku. Belum ditinggal pergi rasa kangen itu sudah merebak, menjalar ke seluruh tubuhku. Sekali lagi kueratkan pelukan. Merasakan tubuh mungil itu ada dalam dekapan.

Aku melepas pelukan, “Nanti Galuh bisa main lagi kesini.”

Galuh hanya diam, dan memandangku tepat ke mata.
Mata kami bertautan, kedalaman kami seperti saling berkomunikasi. Entah apa, ada suatu perjanjian, aku tidak memahami dengan kepalaku. Barangkali insting manusiawi. Semua begitu saja mengalir alami. Bahwa bahasa jiwa kami mengatakan akan saling menyayangi seumur hidup.

Ibu Galuh masuk dan memanggil kembali, lalu Galuh bangkit bersamaku. Keluar dari kamar dan menuju teras rumah. Semua memang sudah siap berangkat. Ayah sudah di mobil. Tinggal menunggu Galuh. Saat masuk ke dalam mobil aku memerhatikannya, aku tidak mau kehilangan momen ini. Moment yang sangat penting bagiku.

Saat itulah Ayah, Ibu, melambaikan tangan, begitu juga Tami dan Galuh. Aku meletupkan senyum lebar, aku ikut melambaikan tangan. Kutatap Galuh baik-baik, ini bukan selamat tinggal ini hanyalah sebuah ilusi. Fisik mungkin terpaut jarak dan waktu, tetapi kedalaman kita, seperti benang elsatis cahaya yang saling terhubung. Kita semua saling terhubung, dengan manusia-manusia lain, dengan tanaman, hewan, dan alam semesta ini.

Kita ditakdirkan disini, memiliki tempat untuk mengisi. 

Sepeninggal Galuh, rumah benar-benar sunyi. Gema tawa Galuh di masa lalu, samar terdengar lalu henyap. Rumah ini seperti habis disapu bersih. Semua hal, semua jejak, lindap. Entah kemana, sebab kepalaku memikirkan satu kenangan pun tidak ada yang melintas jua.

Padahal sebelum Galuh lahir, aku dan Niki besar di rumah ini. Banyak kenangan-kenangan bahagia dan pedih, bahkan mengenang saat itu pun aku tidak bisa. Hanya selintas lalu cepat menguap.

Bersamaan Galuh yang pergi. Aku tahu jarak dan waktu bisa dipangkas dengan teknologi. Tapi aku telah menanamkan janji, bahwa rasa sayang ini akan hidup hingga kelak. Aku mulai menyadari, Hidup memang sebuah Pertemuan dan Perpisahan. Kita harus terus menyadari hal itu, agar kita tahu itu semua ilusi. Waktu, jarak, dan keterpisahan adalah ilusi besar. Kita sebenarnya tidak terpisah sama sekali.

Berita baiknya kita sebenarnya satu. Masih di dalam satu Bumi. Tinggal di satu planet yang sama. Apalah jarak dan waktu.

Aku merayakan perpisahan dengan senyum lebar, meski kedalamanku ada air terjun, sedih. Aku tidak mau ikut larut di dalamnya. Aku akan melawannya.

Sebab semua hal harus dirayakan dengan bahagia. Meski itu mematahkan hatimu, percayalah perlahan hal itu akan mengutuhkanmu kembali. Kita hanya tinggal menyadarinya, bahwa kita satu.

Ya kita satu.


#BelajarMenulisCepat
#CeritaBerasalDariSatuKenangan
#MenguatkanHati 

21-08-2016

0 comments: