Ibu dan Tikus - Ratih Kumala
Tidak ada yang salah pada Ibu. Juga tidak ada yang
salah pada tikus kecil itu. Ibu membenci tikus itu, dan kupikir kalau tikus
kecil itu bisa berbicara tentu dia akan berkata bahwa dirinya juga membenci
Ibu.
Suatu hari Ibu tiba-tiba menjadi
lebih bersemangat dari biasanya, “Ada tikus! Kecil tapi nakal. Akan kutangkap,”
ujarnya.
Tikus kecil itu bersama
saudara-saudaranya (atau mungkin bersama teman-teman sebayanya; aku kurang
yakin sebab mereka semua mirip) sering mengintip dari pojok atap dekat AC di
ruang televisi. Ibu yang sedang santai nonton televisi tiba-tiba sangat
terganggu dengan keberadaan tikus-tikus itu. Mereka sepertinya bergantian
memelototi kami yang sedang asik nonton televisi sambil rebahan di sofa. Lebih
menyebalkan lagi karena tiba-tiba tahi tikus berceceran di mana-mana. Jika
belum kering, tahi itu akan bau dan menempel di lantai hingga jika disapu malah
hancur dan menodai ubin atau karpet. Betul-betul bikin repot. Beberapa hari
kemudian kami mulai melihat tikus-tikus kecil itu berseliweran di depan kami.
Mereka berjalan dengan santai seperti tanpa dosa dan sepertinya wajahnya
menggoda kami seolah-olah bilang, “Halo.” Lalu berjalan lagi sambil
mengendus-endus. Tak lama kemudian pojok-pojok sofa, lap dapur, dan keset sudah
bolong-bolong dikerikiti tikus.
Terakhir aku melihat Ibu sesemangat
ini adalah saat budeku datang berkunjung dari luar kota beberapa bulan lalu.
Segera saja, bermacam jebakan tikus disiapkan Ibu. Mulai dari lem perekat yang
lambangnya gajah, jebakan yang bentuknya sama sekali tidak manusiawi dilengkapi
gigi-gigi besi (aku membayangkan tubuh tikus yang terjepit di situ pasti
langsung sukses terbelah dua), hingga racun tikus yang dilumuri di ikan asin
lalu diletakkan di kerangkeng besi. Jebakan-jebakan itu diletakkan di
teman-tempat yang telah Ibu survei dan dipercaya merupakan jalur yang biasa
dilewati tikus. Aku teringat film Mouse Hunt, tentang dua orang kakak beradik
yang terobsesi menangkap tikus di rumah warisan yang akan dilelang. Aku sendiri
sebetulnya bukan pencinta tikus, malah cenderung membenci makhluk pengerat itu.
Terutama saat suatu hari mobil keluarga kami tiba-tiba tidak bisa jalan. Saat
mobil dinyalakan tiba-tiba bersuara aneh dan berhenti mendadak. Ketika kap mobil
dIbuka, pemandangan menjijikkan tersaji; seekor tikus yang mungkin kebetulan
jalan-jalan di dalam mesin mobil tergencet jadi rata di antara tali kipas!
Betul-betul sudah tidak berbentuk tikus lagi. Kecuali karena kami melihat
moncong dan buntutnya yang menggelikan itu, maka otopsi dadakan kami meyakinkan
bahwa makhluk yang telah hancur itu adalah tikus. Betul-betul pemandangan yang
tidak tikusiawi, baunya tidak hilang selama satu minggu dan memaksa kami terus
membuka kap mobil saat mobil diparkir di rumah juga memaksa kami harus
memeriksakan kesehatan mobil ke bengkel karena ada beberapa kabel yang telah
dikunyah putus oleh makhluk pengerat yang sudah jadi perkedel itu.
Sejarah pertempuran Ibu Vs tikus
ini, sebetulnya bukan yang pertama. Sebelumnya, ada tikus sebesar anak kucing
yang beredar di rumah kami. “Tikus-tikus kecil itu, pasti keturunan tikus
bangkotan yang dulu tinggal di selokan depan rumah!” ujar Ibu masih dengan
semangat menganalisis perihal tikus. Tikus itu memang sangat besar. Tikus
terbesar yang pernah kulihat seumur hidupku. Aku menyebutnya buyut tikus. Dan
dia hidup lama sekali, lumayan lama untuk seekor tikus walaupun aku tidak
begitu yakin berapa seekor tikus bisa mencapai usia tertua dalam hidupnya.
Namun buyut tikus itu beredar cukup lama di rumah kami, dan aku mengacungkan
jempol empat (dua jempol tangan, dua jempol kaki) untuk buyut tikus yang
menurutku punya sembilan nyawa. Mungkin, karena besarnya bahkan melebihi besar
anak kucing, malaikat tanpa sengaja menaruh sembilan nyawa untuk tikus ini
sebab ia mengira buyut tikus itu adalah kucing. Bagaimana tidak? Pembantu kami,
Yu Darsih, pernah mendapati buyut tikus itu sedang jalan-jalan santai masuk ke
kamar adikku (aku bilang “jalan-jalan santai” sebab sang tikus memang
betul-betul sedang jalan-jalan santai tanpa berlari seperti tikus pada
umumnya). Yu Darsih menggetoknya dengan gagang sapu ijuk. Beberapa kali digetok
dan digencet sapu, ia sempat terpojok. Pembantuku mengira dia sudah mati tetapi
begitu Yu Darsih melepas gagang sapunya buyut tikus berjalan lagi seperti tak
punya dosa dan keluar dari kamar adikku menuju selokan depan. Yu Darsih malah
ketakutan melihat pemandangan ini. Nah, bukankah ini menandakan kalau buyut
tikus punya sembilan nyawa? Semenjak insiden digetok gagang sapu itu, buyut
tikus kini punya tanda; sebagian bulunya di atas punggungnya botak dan tak
tumbuh lagi. Mirip seperti codet yang dimiliki maling-maling akibat golok
nyasar ke wajahnya. Setelah itu, aku mendengar kabar bahwa Ibu pemilik warung
depan rumah juga pernah memukul buyut tikus dengan sandal. Toh dia tak mati.
Buyut tikus juga terlalu pintar menghadapi jebakan-jebakan. Dia tak pernah
terjebak sekalipun dengan ikan asin yang telah diberi racun, atau lem tikus,
atau jebakan tikus yang bergigi tajam. Jika ada sedikit makanan tak beracun di
jebakan itu, dengan cara yang entah makanan itu selalu raib dan jebakan selalu
kosong. Aku nobatkan ia sebagai tikus terpintar yang pernah hidup, dan seisi
rumah menyetujuinya. Entah kenapa suatu hari buyut tikus tidak muncul lagi.
Jebakan tetap dipasang, makanan tetap utuh. Sesekali aku sengaja menunggu
kalau-kalau buyut tikus berjalan-jalan santai lagi di depan rumah. Tetapi
tidak. Tak ada satu tanda pun buyut tikus beredar. Tiba-tiba beberapa hari
kemudian tercium bau bangkai yang samar-samar mulai menyengat. Kami tidak
menemukan bangkai itu. Namun kami tahu bahwa itu adalah nyawa kesembilan buyut
tikus yang sukses dijagal malaikat maut. Ia tak punya nyawa tersisa. Akhir
kisah perjalanan buyut tikus mungkin ia mati tua.
Hey, tunggu dulu, cerita belum
selesai, sebab tiba-tiba muncul beberapa keluarga tikus baru yang mulai
berjalan-jalan di lingkungan kami. Memang bukan jalan santai seperti yang kerap
dilakukan buyut tikus, tapi itu cukup untuk membuktikan bahwa buyut tikus bukanlah
tikus perawan tua atau tikus bujang lapuk (berhubung aku tidak begitu yakin
dengan jenis kelaminnya) sebab ini membuktikan bahwa dia telah beranak-pinak.
Nah, tikus kecil yang sering mengintip kami dari atap saat Ibu menonton
televisi sambil rebahan di sofa mungkin adalah salah satu cicitnya.
Tikus kecil ini benar-benar
menunjukkan tanda-tanda kalau dia memang cicit dari buyut tikus tulen. Dia
mulai suka jalan-jalan santai di lantai, tidak hanya melongok dari atas celah
atap. Kemudian tiba-tiba kami mendapati dia berjalan-jalan di meja. Beberapa
kue yang tergeletak di meja tiba-tiba tercuil dan ada bekas gigi tikus kecil
itu. Dia mulai bertindak menyebalkan! Memakan kue! Kue keluarga kami! Dan tidak
bertanggung jawab menghabiskannya! Ibuku paling sebal dengan hal ini, makan
tidak dihabiskan. Sebab menurutnya itu mubazir. Nasihatnya, “Lihat orang-orang
yang kelaparan di Afrika sana. Beruntung kita bisa makan. Habiskan makananmu!”
Kelihatannya nasihat ini juga berlaku untuk tikus. Terlebih lagi, kue yang
sudah telanjur digigit tikus tidak akan mau disentuh siapa pun untuk
dihabiskan. Ini berarti satu lagi kemubaziran. Tikus kecil ini juga tidak
mempan dengan jebakan-jebakan. Beberapa jebakan kami pasang, tapi yang
terperangkap adalah tikus yang agak besar. Mungkin itu paman atau sepupu jauh
si tikus kecil, aku kurang yakin. Walaupun begitu Ibu tidak puas sebab bukan
tikus kecil yang terjebak di sana. Yang pasti si tikus kecil masih tetap
beredar di sekitar ruang tengah tempat kami biasa menonton televisi. Yang lebih
menyebalkan lagi, si tikus kecil kelihatannya lebih senang beraksi saat ada
orang yang menonton televisi (dan kebetulan orang yang sering menonton televisi
adalah Ibu). Kelihatannya dia tipe ekshibisionis, tipe yang suka pamer dengan
apa yang dilakukannya. Tipe show off.
Suatu hari, Ibu menemukan ide
brilian. Sebuah toples kue sengaja diletakkan di meja ruang tengah. Kata Ibu,
itu jebakan. Toples ini diisi kue-kue dan dibiarkan terbuka. Ibu bilang itu
untuk jebakan tikus.
“Kenapa tidak ikan asin yang ditaruh
di toples?” tanyaku.
“Karena tikus kecil itu bukan tipe
penyuka makanan asin atau makanan kampung. Lihat saja, dia lebih suka kue-kue
yang manis. Lagipula dia memang masih anak-anak. Anak-anak kan memang suka
makanan yang manis-manis.”
Penjelasan yang aneh, pikirku dalam
hati. Toh aku tetap yakin Ibu telah melakukan beberapa survei dan pengamatan
lebih jauh perihal perilaku tikus kecil target operasinya, jadi aku
manggut-manggut saja.
Ibu juga jadi lebih rajin duduk di
depan televisi, pura-pura menonton tapi sebenarnya memperhatikan toples terbuka
itu dengan tutup toples yang sudah siap sedia di tangannya. Hingga suatu sore
menjelang isya si tikus kecil beraksi, dia berjalan-jalan santai,
mengendus-endus dan menyemplungkan diri ke dalam toples untuk mengkerikiti kue
manis, dan…hop! Dengan sigap Ibu langsung menutup toples kaca itu. Si tikus
terjebak di dalamnya mengendus-endus dan baru tersadar itu adalah jebakan. Ini
menunjukkan bahwa manusia masih lebih pintar dibanding tikus. Ibu girang bukan
kepalang. Ibu langsung memanggil seluruh penghuni rumah dan menunjukkan dengan
bangga hasil kerjanya yang sukses. Kami semua memang lalu takjub melihat
pemandangan ini; seekor tikus kecil terjebak di dalam toples kaca bersama
kue-kue manis. Ini seperti paman Gober yang tenggelam di antara koin di gudang
uangnya. Hebat.
Awalnya kami berpikir bahwa tikus
itu akan segera mati kehabisan napas. Tapi perkiraan kami meleset. Sehari, dua
hari, tiga hari, empat hari, tikus kecil itu tetap mengendus-endus dinding toples,
ia juga memakan kue-kue manis itu. Kami mulai bertanya-tanya dari mana dia
dapat udara untuk bernapas? Yang pasti dia pasti masih bernapas. Ibu mulai
memutar otak tentang cara membunuh tikus kecil itu secara cepat, seperti
membuka dan menyemprotnya dengan racun serangga lalu menutup lagi hingga ia
mati kelenger. Tapi bagaimana jika saat dibuka itu si tikus lompat dari toples
dan kabur? Akan merepotkan lagi. Akhirnya kami semua menunggu. Seminggu, dua
minggu, tikus kecil itu masih tetap mengendus-endus dinding toples. Ia jadi
agak gemuk, mungkin karena makan kue terus yang sedikit demi sedikit habis. Isi
toples yang tadinya hanya kue dan tikus kini punya penghuni baru; tahi tikus.
Bentuknya hitam dan kecil-kecil agak lonjong, tahi-tahi itu mulai menggunung.
Ibu tidak lagi khawatir dengan bagaimana membunuh tikus, tapi lebih khawatir
dengan toples kesayangannya itu. Perhitungannya terhadap daya hidup si tikus
sedikit meleset, sebab ia bertahan cukup lama. Tapi kami semua tetap menunggu.
Aku tidak menghitung pasti berapa
lama tikus itu telah berada di dalam toples, tapi kemudian dia tak lagi
mengendus-endus. Tubuhnya yang gemuk tiba-tiba terkapar di antara tahi-tahi dan
remahan kue yang sudah berjamur. Aku hanya bisa melihat napasnya yang naik
turun di perutnya. Kurang lebih satu bulan tikus itu bertahan hidup, hingga
kami semua sepakat tak lagi melihat tanda-tanda kehidupan dan tikus resmi jadi
mayat. Kami membuka tutup toples yang baunya tak keruan. Menumpahkan isinya di
atas selembar koran untuk mengeluarkan mayat tikus.
“Ambil plastik!” kataku menyuruh Yu
Darsih.
“Jangan dibuang, kita kuburkan saja.
Ambil kotak sepatu bekas!” Kata Ibu tiba-tiba. Menguburkan? Tak salah? Toh kami
tak mencoba menimpali usul Ibu.
Saat semua sibuk mengurus pemakaman
si tikus kecil, sedang Ibu mencuci bersih-bersih toples kesayangannya, dengan
sebatang kayu, aku iseng membolak-balik tubuh tak bernyawa si tikus. Aku
mengamat-amati sambil menutup hidung, tiba-tiba aku melihat sesuatu yang
janggal, sesuatu yang sepertinya kukenal. Ada bagian kecil punggung tikus kecil
itu yang botak, tak berambut. Mungkinkah, dia buyut tikus yang telah
bereinkarnasi? Ia bertahan lama di dalam toples sebab ia juga punya sembilan
nyawa, mungkin?
Sore itu ada kuburan kecil
di belakang rumah tanpa nisan dan akan segera dilupakan.*Pernah diterbitkan di Koran Suara Merdeka, 15 Juli 2006.
0 comments: