Remember A Farewell
Hari itu adikku paling kecil, akan pergi meninggalkan rumah ini bersama ayah, ibu dan kakak perempuannya. Mereka semua pindah ke suatu kota kecil. Kota yang dekat desa tempat aku lahir dulu. Itu adalah bulan September yang mengerikan, mengingat hawa panas, dan rumah yang mengaum, lewat kenangan-kenangan yang melintas di benak.
Adik
kecilku, Galuh, nampak berbaring di kasurnya. Ia terdiam lama, saat ibunya
memanggilnya berulang kali dan ia hanya diam. Maka aku memasuki kamarnya yang
selama ini tempat ia tidur, tempat bermain bahkan mungkin tempat teraman dari
dunia yang kejam. Entah mengapa, aku merasa bahwa ia diam, itu caranya dia
mengucapkan selamat tinggal pada rumah ini. Ia baru 5 tahun, dan aku masih
mengingat bagaimana rasanya menjadi anak umur lima tahun. Dimataku dunia saat
itu sngat menakjubkan, seolah keajaiban ada di udara, dan bisa mengabulkan
setiap keinginan.
Perlahan aku
mendekat, mengelus ujung kasur, aku memberi tanda pada Galuh bahwa aku
mendekat. Namun ia masih berbaring menyamping memunggungiku. Aku pun sunyi,
berharap mendengar sedu kecilnya, tetapi aku tidak mendengarnya menangis. Aku
hanya melihatnya terdiam. Aku menerjemahkan ia sedang mendengarkan banyak suara
di dalam rumah ini. Suara-suara kita, Ayah, Ibu, aku, Niki dan Tami. Gema masa
lalu yang sedang ia serap. Ia akan bawa ke rumah barunya nanti, dan
menguarkannya di sana.
Aku memahami
hal ini sebab aku pun seperti itu. pada sebuah perpisahan, aku akan menyerap
segala kenangan. Membawanya hingga kelak nanti. Dan anak-anak kecil selalu
memiliki hal yang menakjubkan. Sayangnya mata orang dewasa menganggapnya hal
itu keanehan, atau ada yang terpukau. Mereka telah lupa bahwa mereka pun
sebenarnya masih kanak, hanya tubuh yang menua.
Pelan aku
memanggilnya. “Galuh...”
Galuh pun
bergerak, dan membaringkan tubuhnya rata dengan kasur. Aku melihat wajahnya yang
sendu. Matanya, sedikit berkaca-kaca, semua kenangan akhirnya telah ia serap
dan ia bawa. Aku meraih tubuh mungilnya, dan memeluknya erat.
Sesak di
dadaku begitu menghimpit, aku ditekan oleh banyak kenangan bersamanya, banyak
hal indah dan bahagia serta hal sedih yang mengikat kita berdua.
“Galuh bakal
kangen rumah ini.”
Aku pun akan
kangen padamu, Galuh kecilku. Belum ditinggal pergi rasa kangen itu sudah
merebak, menjalar ke seluruh tubuhku. Sekali lagi kueratkan pelukan. Merasakan tubuh
mungil itu ada dalam dekapan.
Aku melepas
pelukan, “Nanti Galuh bisa main lagi kesini.”
Galuh hanya
diam, dan memandangku tepat ke mata.
Mata kami bertautan,
kedalaman kami seperti saling berkomunikasi. Entah apa, ada suatu perjanjian,
aku tidak memahami dengan kepalaku. Barangkali insting manusiawi. Semua begitu saja mengalir alami. Bahwa
bahasa jiwa kami mengatakan akan saling menyayangi seumur hidup.
Ibu Galuh
masuk dan memanggil kembali, lalu Galuh bangkit bersamaku. Keluar dari kamar
dan menuju teras rumah. Semua memang sudah siap berangkat. Ayah sudah di mobil.
Tinggal menunggu Galuh. Saat masuk ke dalam mobil aku memerhatikannya, aku
tidak mau kehilangan momen ini. Moment yang sangat penting bagiku.
Saat itulah
Ayah, Ibu, melambaikan tangan, begitu juga Tami dan Galuh. Aku meletupkan
senyum lebar, aku ikut melambaikan tangan. Kutatap Galuh baik-baik, ini bukan
selamat tinggal ini hanyalah sebuah ilusi. Fisik mungkin terpaut jarak dan
waktu, tetapi kedalaman kita, seperti benang elsatis cahaya yang saling
terhubung. Kita semua saling terhubung, dengan manusia-manusia lain, dengan
tanaman, hewan, dan alam semesta ini.
Kita
ditakdirkan disini, memiliki tempat untuk mengisi.
Sepeninggal
Galuh, rumah benar-benar sunyi. Gema tawa Galuh di masa lalu, samar terdengar
lalu henyap. Rumah ini seperti habis disapu bersih. Semua hal, semua jejak, lindap.
Entah kemana, sebab kepalaku memikirkan satu kenangan pun tidak ada yang
melintas jua.
Padahal
sebelum Galuh lahir, aku dan Niki besar di rumah ini. Banyak kenangan-kenangan
bahagia dan pedih, bahkan mengenang saat itu pun aku tidak bisa. Hanya selintas
lalu cepat menguap.
Bersamaan Galuh
yang pergi. Aku tahu jarak dan waktu bisa dipangkas dengan teknologi. Tapi aku
telah menanamkan janji, bahwa rasa sayang ini akan hidup hingga kelak. Aku mulai
menyadari, Hidup memang sebuah Pertemuan dan Perpisahan. Kita harus terus
menyadari hal itu, agar kita tahu itu semua ilusi. Waktu, jarak, dan
keterpisahan adalah ilusi besar. Kita sebenarnya tidak terpisah sama sekali.
Berita baiknya
kita sebenarnya satu. Masih di dalam satu Bumi. Tinggal di satu planet yang
sama. Apalah jarak dan waktu.
Aku
merayakan perpisahan dengan senyum lebar, meski kedalamanku ada air terjun, sedih.
Aku tidak mau ikut larut di dalamnya. Aku akan melawannya.
Sebab semua
hal harus dirayakan dengan bahagia. Meski itu mematahkan hatimu, percayalah perlahan hal itu akan mengutuhkanmu kembali. Kita hanya
tinggal menyadarinya, bahwa kita satu.
Ya kita
satu.
#BelajarMenulisCepat
#CeritaBerasalDariSatuKenangan
#MenguatkanHati
21-08-2016
0 comments: