Jangan Dibaca Di Hari Biasa
Saat
aku menuliskan ini, di suatu malam yang baru saja melepas adzan isya. Malam
yang aneh menurutku, hawa agak sedikit sumuk, lalu Ibuku mendadak mengeluh sakit
kepala dan tidak bisa ikut mengaji di masjid. Seorang sahabat memberi kabar
sedang meeting skenario di Pondok Pinang, lalu sahabat lain memberi kabar sedih
hatinya sebab terkena halangan. Aneh sekali aku dihajar berita bertubi-tubi.
Seharian
ini, aku seperti biasa menganggur. Cuma baca buku puisi Avianti Armand, Buku
Tentang Ruang dan Novel Memeluk Kehilangan karya Faisal Syahreza. Dalam
menganggurnya diriku, aku berusaha meminjam laptop adikku dan menuliskan banyak
hal disana. Kadang kucuri malam-malam selepas adikku selesai menggunakan laptopnya.
Aku mengejar menulis sebuah karya.
Kematian
Cera masih membuatku melankolis dan aku enggan mencari penggantinya. Aku bokek
juga, mau beli laptop baru mahal, jadi yah nganggur sajalah, daripada kerja.
Lebih enak. Toh Ibuku tahu anaknya sedang masa ingin nganggur. Ibuku tahu hati
anaknya sedang menyembuhkan banyak hal. Sudah bertarung habis-habisan dengan
dunia, kini saatnya pulang kepelukannya.
Hari
yang aneh itu bermula dari berita sidang Ahok yang mengharukan bagiku, apalagi
melihat Pak Ahok menangis. Lalu beberapa tetangga yang diRukiyah sebab sakit
dan diikuti sesosok hantu. Dan yang terakhir, kisah seorang Penulis yang tidak
diijinkan menulis oleh orang tuanya dan dianggap pembawa bencana. Yang terakhir
ini yang menyentuh hatiku.
Aku
tidak bisa berkata apa-apa tentang Pak Ahok, dihati aku cuma mengirimkan energi
baik untuk beliau agar bisa kuat menghadapi cobaan. Aku juga malas mendengar
ocehan banyak orang yang menyudutkan beliau, padahal pasti dibalik berita ini
semua, tukang korupsi sedang asyik pesta pora. Indonesia sedang diuji
Ke-Indonesia-an-nya. Bila Tuhan Maha Mengampuni, mengapa kita ciptaannya begitu
kasar dan egois, gampang tersulut oleh satu berita. Aku agak muak melihat
tayangan TV, sosial media yang penuh kebencian. Bangsa Besar Indonesia, sedang
lupa Indonesianya.
Pindah
ke cerita lainnya. Ibuku menceritakan bila beberapa tetangga di Rukiyah. Dari aku
kecil, aku ingin mengetahui sisi seberang dari dunia nyata. Adakah orang yang
membuatku belajar memahami tentang sisi seberang kenyataan? Aku dari dulu ingin
sekali menjadi Shaman, Tabib yang mengobati dengan dedaunan obat, atau seorang
Pendeta yang memiliki kekuatan untuk memahami hal-hal yang diluar nalar,
memahami spiritualitas, memahami lapis dunia lain. Ikut sedih ketika mendengar
cerita Ibuku yang mengatakan beberapa tetangga di Rukiyah karena diikuti hantu.
Aku
ingin membantu, tapi apa daya, aku tidak mahir, tidak tahu harus belajar pada
siapa untuk membantu hal-hal ini. Aku dari dulu ingin jadi biksu yang seperti Avatara. Aku ingin membantu manusia biasa yang selalu mengatakan diganggu
hantu, tapi buatku ini tentang energi. Pasti ada sesuatu dengan energi yang
melekat di energi kita.
Kita
ini bukan hanya sekumpulan materi yang membentuk, kita juga energi. Makanya
ketika Film Dr. Strange keluar, aku percaya sekali dengan apa yang dikatakan
The Ancient One. Ya, manusia memang hanya mengintip dunia dari lubang kunci
kecil, ketika lubang kunci itu diperlebar, kita malah ketakutan dan menjadi
tidak percaya.
Itulah
kita, menutup semua potensi kekuatan kita. Padahal kita memiliki potensi yang
tidak terduga. Kita terlalu menjadi kenyataan. Terlalu dibutakan teknologi,
makanan, dan tidak percaya dengan hal-hal yang logis, padahal sebenarnya kita
hidup ditengah hal yang tidak nyata. Udara yang kita hirup, sinar matahari yang
menyapu lembut kulit kita, angin yang membawa wangi rerumputan yang jauh,
indera tidak bisa menggenggam hal itu, hanya bisa merasakan dan menghidunya.
Bagaimana kita memercayai kalo udara yang kita hirup sebenarnya berwarna hijau?
Percayakah kamu?
Kenapa
kita sebegini, kosong. Padahal kita luar biasa. Makanya aku ingin sekali
belajar memahami banyak hal, bukan hanya nanti untuk kutulisakan menjadi
cerita, tetapi untuk menggerakan manusia dalam kedamaian. Semacam melawan arus
Waktu.
Ya
semoga aku bisa.
Terakhir
Penulis yang ingin menjadi Penulis namun terkekang oleh banyak hal.
Aku
membaca status seorang Penulis yang mengkhawatirkan bila karyanya terbit kelak.
Dan si penulis berkata untuk jangan khawatir, bahkan penulis bestseller pun
punya kekhawatirannya.
Aku
ingin menanggapi hal ini, menurutku Penulis Bestseller tidak mungkin khawatir,
buat apa khawatir tulisannya takut nggak dibaca pembaca. Penulis macam Tere
Liye, saya memang menebak-nebak perasaannya sih. Saya menebak, pasti dia tidak
khawatir, mau bikin karya jelek pun, dan dicetak jadi buku juga, buku Tere Liye
akan diserbu juga. Dan laku. Buat dia, buat apa khawatir, bikin kumpulan quotes
dengan hardcopy aja laku.
Tapi ada satu hal. Di Indonesia. Di belahan
bagian barat jawa, ada seorang Penulis, yang aku kenal. Beliau tadi malam memberi
kabar bahwa dia tidak bisa menepati deadline yang aku tetapkan. Aku dan beliau
memang sedang berkolaborasi karya, maka aku mengatakan pada beliau bahwa “Ya,
tidak apa-apa.”
Aku tahu beliau sedih karena tidak
bisa menepati janjinya, tapi aku bilang kita bisa atur waktu lagi.
Beliau
adalah penulis yang penuh semangat dan memang ingin mendedikasikan Hidupnya
untuk menulis. Bahkan beliau ingin aku mengajarinya menulis. Maka aku
membuatkannya semacam pelatihan, dan diskusi agar beliau bisa memahami tehnik
menulis yang sering kugunakan.
Bahkan beliau membayarku secara Profesional
sebab telah mengajarinya, padahal aku tidak ingin menarik apapun dari beliau,
tapi beliau tahu aku diam-diam mengajar Penulis baru agar bisa kuat dalam
menulis. Sebab tidak enak hati menolak beliau yang menyuruhku menerima
bayarannya, maka aku menerimanya dan uang itu kubelikan buku. Banyak buku untuk
beliau agar ia bisa memperkuat diksi, plot dan apapun tentang menulis.
Tapi,
ketika cita-citamu menulis adalah bencana bagi kedua orang tuamu, bahkan orang
tuamu membencimu seumur hidup, bahkan hendak me-Rukiyahkan dirimu, sebab mengira
menulis itu adalah ritual Iblis, dan aku sebagai Gurunya adalah Raja Iblis. Bagaimana
perasaanmu saat itu juga?
Bagaimana rasanya melihat kedua orang tuamu
dipengaruhi tetanggamu yang mengatakan
bahwa anaknya benar-benar lepas dari kewajibannya, dan mengatakan bahwa anaknya aib
bagi keluarga sebab memilih menulis? Dan itu memalukan keluarga. Bagaimanakah
perasaanmu?
Ketika
Orang tuamu mengurungmu di rumah agar tidak pergi melihat dunia luar, dan
menghancurkan laptopmu agar tidak menulis lagi. Bagaimana perasanmu? Masihkah
dirimu ingin menulis? Masihkah?
Beliau
masih menulis hingga sekarang, meski belum menghasilkan karya cetak, tapi
sebelum tidur beliau menulis di ponselnya. Di note, sajak, catatan kecil
tentang Hidupnya.
Kukatakan
padamu wahai manusia yang bisanya menjudge! Menulis bukanlah ritual Iblis, bukan pula
jalan sesat suatu sekte atau aliran kegelapan manapun. Menulis bagiku dan bagi
beliau adalah cara! Cara menyembuhkan diri! Dari luka-luka saat dikhianati,
dihajar, diinjak-injak oleh orang-orang dari jenis bangsat! Orang bajingan! Orang
biadab yang menghancurkan hidup kita, mental kita, moral kita! Orang Ndelogok
yang berkedok menggunakan apapun yang membunuh karakter kita! Menggunakan jalur yang dibuatnya, menggunakan mulut manis tapi berbisa, apapun bahkan berani menggunakan nama
Tuhan.
Kami,
aku dan beliau dua orang yang sama. Terluka. Dan menulis adalah obat bagiku dan
beliau!
Yaaaaa!
Aku menulis untuk menyembuhkan diriku dari setiap luka yang menghunusku! Menulis
bukan aliran IBLIIIIISSS!!!!!
Bagaimana
perasaanmu, saat orang tuamu pun bahkan tidak memercayaimu. Kau tidak punya
teman, tidak punya sahabat, tidak punya apapun. Selain memiliki diri sendiri!
Maka
dari itu, kami melawan dalam sepi, dalam keterlukaan kami, dalam sunyi. Dengan menulis.
Hingga sekarang. Yang lebih hebat lagi beliau tidak peduli dianggap keturunan
Iblis, beliau tidak peduli menulis akan membuatnya masuk neraka jahanan paling
jahanam.
Beliau
akan terus menulis hingga tiada nanti. Begitu juga aku. Hanya saja posisiku,
begitu beruntung. Aku masih punya keluarga yang bisa kuandalkan, meski mereka
tidak menyukai profesiku sebagai Penulis yang tidak dapat menghasilkan apa-apa.
Tapi
beliau, dia sendiri, kekasih sepi. Ia terus menulis, meski orang tuanya tidak
menyetujui.
Aku
hingga kini terus menyemangatinya, memberikannya banyak saran dan kelak akan
membantunya mencetak buku ceritanya. Bahkan aku sudah meminta ijin padanya
untuk membuat cerita tentang kita berdua, tentang nasib kita sebagai Penulis
dan akan kubuatkan novel pendek dan akan kuperjuangkan hingga cetak nanti.
Masih
saja mengeluh Hidupmu tidak indah? Masih saja kita menyia-siakan waktu?
Tulisan
ini kubuat, bukan hanya sebab hari yang aneh, tapi juga sebab aku ingin memberi
semangat pada beliau, bahwa, halangan apapun, yang saat kita memperjuangkan
suara murni kita yang tertulis di buku tulis, atau notes ponsel. Kelak tulisan kita
akan menjadi api bagi seseorang di luar sana.
Tulisan
kita akan membuat api yang tadinya padam, akan membara lagi.
Semoga
tulisan ini pun membarakan padamnya api di hatimu dan membuatmu bangkit dari
luka apapun.
Hei,
percayalah, halangan yang ada di depan kita adalah hal yang tujuannya untuk
membuat kita bersenang-senang dengan halangan Hidup kita.
Selamat
Menikmati Hidup
13-14/12/2016
0 comments: