Pada Semilir Angin
Pemuda dan si Gadis duduk di atas rumput tepi bukit yang melandai turun. Belakangan ini bila berada dekat si gadis, kegugupan sering melanda pemuda itu. Sebab di dalam dadanya, ada debur rahasia bergelora, dan pemuda itu masih berusaha mencari cara. Mengurai buhul rahasia yang membelit hati, ke dalam bahasa yang dapat si gadis pahami.
Pemuda itu tidak mau menunda lagi. Ini saat paling tepat merangkai buhul rahasia itu ke dalam tiga kata sederhana. Pemuda itu berusaha keras menaklukan gelisah yang berkumpul menjadi keringat dingin di telapak tangan. Ia menghela napas, lalu menoleh ke arah si gadis. Si Gadis nampak begitu tenggelam dalam pikirannya. Tidak memedulikan anak-anak angin memberantaki rambutnya.
Menemukan si gadis menerawang jauh. Mendadak tiga kata sederhana yang sudah ada di ujung lidah pemuda itu, menguap lenyap. Pemuda itu tahu kemana hati dan lamunan si gadis berlayar. Sungguh ia tidak suka, namun ia tidak berdaya. Bila sudah berlabuh di sana, si gadis kelihatan muram dan tidak bahagia.
Gelembung lamunan si gadis buyar, ketika jemari pemuda itu menepuk pelan bahu si gadis, ia tersentak.
“Ah,” si gadis menoleh, dan berkata lambat-lambat, “Ma-maafkan, aku.”
Pemuda itu mengukir senyum maklum. Lalu untuk membayar kecanggungannya si gadis mengambil buku dongeng dari dalam tasnya.
“Mau, mendengarkan dongeng karanganku?” tanya si gadis perlahan.
Pemuda itu perlahan mengangguk, sambil terus menatap si gadis yang membuka halaman pertama buku dongeng itu. Pemuda itu tahu, si gadis memikirkan seseorang yang teramat ia cintai.
“Karena kekasihnya tidak diketahui kemana perginya.” Si Gadis membaca setiap kalimat dengan lirih dan melankolis, “Si perempuan itu semakin tenggelam dalam sedih—”
Kepergian kekasihnya meninggalkan cinta yang patah dan sepi. Si perempuan menitikkan airmata setiap hari. Hingga ia meminta pada angin untuk membawanya pada kekasihnya. Angin yang iba pun menyelimuti si perempuan. Lalu sang angin membisiki: kami akan membawamu ke tempat kekasihmu, tapi kamu akan kehilangan sesuatu. Si perempuan siap apapun syaratnya. Melihat dalamnya cinta si perempuan, angin pun membawanya mengembara mencari sang kekasih. Sampai di sebuah tempat, si perempuan begitu bahagia melihat kekasihnya. Namun nampak kekasihnya bergandengan tangan dengan gadis cantik. Si perempuan terkejut dan marah. Ia mendekati kekasihnya dan memeluk kekasihnya, tapi kekasihnya terus berjalan melaluinya. Tidak melihat keberadaannya. Bingunglah si perempuan. Angin kembali menyelimuti si perempuan dan membisiki: Engkau sudah pernah siap kehilangan, maka inilah kehilanganmu. Si perempuan meluruhkan airmata menatap kepergian kekasihnya, sang angin kembali berkesiur; Janganlah bersedih, ikutlah bersama kami membawa bisikan-bisikan sepi manusia keliling dunia. Dan Angin pun menjadikan si perempuan sebagai Dewi Angin.
Si gadis menghela napas pedih, merasakan cahaya senja mulai memadam ditelan gelap malam.
“Andai aku Dewi Angin. Pasti aku bisa pergi ke mana pun. Dan menemukan dia.”
Pemuda itu mengerutkan alis, ia tahu siapa yang dimaksud si gadis, “Ikh-an?
“Ya,” bisik lirih si gadis sambil menatap angkasa, “Ivan.” si gadis tiba-tiba tergugu dan guguran bening airmata luruh begitu saja.
Pemuda itu ikut miris merasakan kesedihan si gadis. Namun kata-kata yang keluar dari bibir si gadis, membuat hatinya patah jadi dua. Entah mengapa ia merasa sia-sia. Bila ia mengatakan tiga kata sederhana miliknya, semua serasa percuma. Pemuda itu tahu, Ivan masih Pangeran yang duduk di singgasana hati si gadis. Dan itu tidak akan pernah tergantikan. Pemuda itu merasa sia-sia. Merasa merana.
* * * *
Selama ini demi melihat sekuntum senyum si gadis, pemuda itu rela melakukan apa saja. Setiap hari—kecuali hari minggu—pukul setengah tujuh pagi. Terdengar denting bel sepeda tua berkeranjang di depan. Pertanda pemuda itu sudah memamerkan senyum lebar dibalik pagar depan rumah si gadis. Terkadang sepedanya dihiasi seikat alang-alang, kertas warna-warni, atau pemuda itu mengenakan topi jerami ala petani sambil tersenyum konyol. Dan itu cukup membuat si gadis meletupkan tawa.
Pemuda itu makin bersemangat memboncengi si gadis menuju sekolah. Begitu jam pulang sekolah berdentang, dibawah teduhnya pepohonan pemuda itu sudah menanti. Bahkan pernah hujan badai, pemuda itu menerjang, hanya untuk membawakan si gadis mantel hujan dan payung besar. Tidak ada yang sanggup menggoyahkan usaha pemuda itu. Semua demi sekuntum senyum si gadis.
Banyak orang bertanya-tanya tentang keakraban mereka. Bagaimana bisa gadis secantik yang memiliki segalanya itu, mau berteman dengan pemuda yang sedari kecil tidak bisa mendengar dan dari mulutnya hanya bisa keluar erangan atau huruf vokal yang tidak enak di dengar telinga. Pemuda yang dijauhi tetangga-tetangganya. Sebab ibunya, setiap malam kerjanya hanya duduk di warung kopi langganan pinggir jalan, menawarkan setiap laki-laki yang ada dibalik celana dalamnya. Si gadis tidak peduli. Keberadaan pemuda itu membuatnya memiliki sahabat tiada duanya. Itu cukup. Tidak peduli lagi dunia bilang apa.
Bagi pemuda itu, si gadis adalah malaikat yang membawa keajaiban ke dunia sunyinya. Pernah suatu hari si gadis mengajak pemuda itu ke sebuah tempat aneh. Pemuda itu bingung melihat etalase kaca tempat itu memajang banyak telinga. Apalagi si gadis menyuruhnya duduk di bangku aneh dengan peralatan yang tidak ia ketahui. Pemuda itu mengira si gadis membawanya ke tempat dimana telinganya akan dipotong. Pemuda itu menghamburkan jeritan ketakutan, ketika seorang pria dewasa berpakaian putih dan bau bersih memegang telinga pemuda itu. Si gadis sedikit kewalahan, terus berusaha meyakinkan, bahwa telinganya tidak akan dipotong. Si gadis berjanji akan membelikannya sesuatu setelah pergi dari tempat aneh itu. Pemuda itu pun memercayai ucapan si gadis. Janji si gadis tidak pernah ingkar, diajaknya pemuda itu ke toko buku. Membelikannya beberapa buku bergambar dengan huruf alfabet dan buku-buku dongeng. Si gadis berharap, kelak pemuda itu bisa membaca, mengenal makna, agar dapat berbicara dengan banyak kata.
Seminggu sejak kejadian itu, setiap sore di bukit, si gadis mengajarinya berbicara. Pemuda itu belajar menyebut nama si gadis dengan baik.
“Wri-ah-na,” ucap pemuda itu, mulutnya sedikit lelah mengulang-ulang menyebut nama si gadis.
Si gadis mengacungkan dua jempol dan tersenyum bangga, seolah pemuda itu baru saja memenangkan kontes bicara sejagat. Sebagai usaha keras pemuda itu, si gadis menyodorkan kotak berwarna biru tua dan menyuruh pemuda itu membukanya. Pemuda itu terbengong-bengong melihat apa yang ada di dalam kotak. Adalah alat pendengar yang dipesan si gadis telah jadi. Perlahan si gadis mengambil alat itu dan memasangnya pada telinga pemuda itu.
“Test-test, halo apakah kamu bisa mendengar aku?” tanya si gadis khawatir melihat pemuda itu nampak mematung.
Untuk kali pertama pemuda itu tercenung. Tidak memercayai telinganya dapat menangkap suara. Dengan cepat lengan pemuda itu melingkari tubuh si gadis. Hanya itu yang bisa ia beri atas hadiah si gadis. Si gadis mengelus lembut punggung pemuda itu.
Dunia selalu berubah, hari tidak pernah ada yang sama. Pemuda itu bersemangat mengayuh sepedanya menjemput si gadis. Sampai di depan pagar rumah si gadis, ia membunyikan bel sepeda dan menunggu si gadis keluar rumah. Tiba-tiba dari ujung jalan, datang mobil mewah berwarna merah mengilap. Mobil itu dengan anggun berhenti di depan rumah si gadis. Dari dalam mobil keluarlah pemuda tampan bak pangeran. Ivan. Bertubuh jangkung dan bermata sebiru samudera. Ivan melewati pemuda itu dengan memberikan anggukan kepala sopan. Lalu masuk ke teras rumah si gadis, memencet bel rumah. Si gadis keluar dengan rekahan senyum di wajahnya yang berbinar cerah, seolah matahari menyorot wajah si gadis.
Canggung, si gadis menghampiri pemuda itu yang sudah berada di balik pagar. Sambil meremas kedua tangan pemuda itu, si gadis meminta maaf, karena tidak bisa ikut sepeda pemuda itu. Si gadis berjanji, sepulang sekolah nanti ia akan menunggu pemuda itu di bukit. Pemuda itu tersenyum, menatap si gadis masuk ke mobil Ivan, lalu meluncur pergi. Hingga mobil itu menghilang di kejauhan, pemuda itu baru beranjak pulang.
Di bukit pemuda itu menunggu si gadis hingga sore tamat. Si gadis tak jua datang. Tanpa ragu kakinya melangkah ke rumah si gadis. Di sana, mobil merah Ivan terpakir di tepi jalan. Dari balik pagar, pemuda itu mendapati pemandangan yang ada di balik jendela ruang tamu. Si gadis dan Ivan saling duduk mesra. Pemuda itu tersenyum tegar, lalu melangkah pulang.
Tugas mengantar dan menjemput si gadis, kini menjadi tugas Ivan. Meski begitu, tiap setengah tujuh pagi pemuda itu tetap datang sekedar membunyikan bel sepeda dan mengantar si gadis berangkat sekolah dengan senyum lebar. Rutinitas itu telah menjadi eksistensi. Terkadang bonus senyum si gadis, makin membuatnya merasa berharga. Ia tahu Ivan adalah Pangeran yang kini bertahta di hati si gadis. Ivan yang kini selalu menjadi payung dari hujan badai, dari sengat matahari, dan pemuda itu pun bisa melihat Ivan begitu melindungi si gadis. Baginya, si gadis bahagia itu lebih dari cukup, meski seribu jarum menusuki hatinya. Tidak apa-apa. Pemuda itu memaksakan bibir mengurai senyum bahagia.
Dunia selalu berubah, dan hari tidak pernah ada yang sama. Dari kejauhan pemuda itu melihat si gadis bertengkar dengan Ivan. Buru-buru Ivan masuk ke dalam mobil merahnya dan melaju pergi. Pemuda itu menatap si gadis penuh arti. Si gadis yang ditatap seperti itu, bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi dan mengajaknya untuk berangkat sekolah. Pemuda itu merasakan si gadis yang duduk di sadel belakang, terisak tanpa suara. Pemuda itu memilih diam.
Dua minggu kemudian, di bukit, si gadis menumpahkan cerita. Semenjak hari pertengkaran mereka, kini Ivan telah pindah sekolah, tanpa ada kabar dan berita. Si gadis sudah mencoba berbagai cara, menelepon dan mengirimi surat elektronik pada Ivan. Tapi semua itu percuma, tak ada satupun balasan dari Ivan. Si gadis mengajak pemuda itu mengunjungi rumah Ivan, namun sampai di sana, suwung. Rumah Ivan nampak kosong. Si gadis memanjat pagar besi, tidak memedulikan roknya yang tersangkut dan robek. Sampai di pintu si gadis mengedor-gedor dan mengintip lewat jendela. Ternyata Ivan dan keluarganya pun telah pindah lama. Hingga kini, si gadis tak menemukan jejak Ivan. Pun setitik keberadaannya. Si gadis benar-benar remuk kehilangan kekasih hatinya.
Dunia si gadis yang tadi tersentuh warna-warni, kini abu-abu. Sebulan berlalu, pemuda itu tidak rela melihat wajah si gadis begitu tirus dan pucat.
“Aku belum bisa melupakan, Ivan.” Bisik si gadis, lalu menaiki jok belakang sepeda.
Lalu mereka berangkat sekolah dilingkupi keheningan yang menyesakkan.
* * * *
Selalu si gadis menatap kejauhan penuh kekosongan, seolah si gadis mengembara jauh. Barangkali mencari Ivan. Lalu di atas kepala mereka berdua, bintang kejora berkerlip rapuh di angkasa barat, dengung adzan maghrib di kejauhan memenuhi udara. Pemuda itu berbisik memanggil si gadis. Si gadis menoleh dengan wajah datar. Pemuda itu mengulurkan tangan pada si gadis, membantunya berdiri. Si gadis menatap kedua mata pemuda itu, ada ketulusan di sana.
“Terima kasih ya, kamu selalu ada untukku. Maafkan aku, bila aku tidak bisa menjadi apa yang kau dambakan.” Ucap si gadis, terdengar pedih.
Pemuda itu mengangguk, dan mengantar si gadis pulang. Di depan rumah, mendadak si gadis memeluk erat pemuda itu dan berbisik; Jagalah dirimu baik-baik.
Pemuda itu mengerutkan alis, tidak mengerti arti ucapan si gadis.
Si gadis melepaskan pelukan, menaruh tangannya di pipi pemuda itu. Matanya begitu hangat, lalu si gadis melangkah masuk, dan melambaikan tangan selamat tinggal.
“Ham-pai, keth-mu, bekh-sok.” Pemuda itu membalas melambai.
Sebelum menutup pintu, untuk terakhir kalinya si gadis merekahkan sekuntum senyum bahagia. Pemuda itu mengayuh pulang sepedanya. Berharap dalam hati, besok si gadis bisa tersenyum lebih cerah ketika pemuda itu membocenginya.
* * * *
Pagi terasa sangat tidak biasa. Ketika pemuda itu mengayuh sepedanya menuju rumah si gadis. Pemandang disekelilingnya dan semua benda yang tertimpa sinar matahari nampak begitu cerah. Udara pun terasa begitu berbeda. Aneh rasanya.
Dari kejauhan pemuda itu melihat keramaian di depan rumah si gadis. Buru-buru ia mengayuh cepat. Matanya tertumbuk pada karangan bunga yang sudah berjejer rapi bertuliskan nama si gadis di depan pagar. Pemuda itu menuntun sepedanya. Seorang pria dewasa berwajah lelah yang seolah menunggu pemuda itu sedari tadi, mendekatinya. Pemuda itu mengangguk sopan, mengenal pria itu, ayah si gadis.
“Nak, maaf. Hari ini kamu tidak bisa mengantar Riana sekolah.”
Pemuda itu bingung, “Kekh-na-fah?”
“Begini, Nak.” Pria itu sejenak terdiam, mencari cara untuk menjelaskan pada pemuda itu, “Tadi malam, Riana, bunuh diri. Dia sudah tiada, meninggal dunia.”
Pemuda itu bingung. Mendadak waktu seolah membekukan pemuda itu. Kilasan-kilasan saat bersama si gadis, sekuntum senyum si gadis, semua melintas di benaknya. Tiba-tiba semua itu dirampas paksa darinya, meninggalkan lubang yang menganga di hati. Tubuh pemuda itu bergetar.
“Wri-akh-na,” Serak pemuda itu memanggil tidak rela, “Wri-akh-na.”
“Nak, Riana sudah tidak ada.” Kata pria dewasa itu tersendat-sendat, menahan kesedihan yang membludak di matanya.
Pemuda itu segera menaiki sepedanya menuju bukit. Si gadis pasti ada di sana, pikir pemuda itu. Di jalan mendaki pemuda itu menjatuhkan sepedanya dan berlari menyibak alang-alang. Sampai di sana, tak ia temukan siapa-siapa. Hanya ada pagi yang masih tidak biasa. Penuh kepedihan pemuda itu meraung marah. Barangkali pada Tuhan. Tubuhnya melorot, bersujud di tanah. Air di kedua matanya membasahi pipi dan terasa asin di mulut. Ia memukul-mukul tanah, tidak memercayai si gadis mengakhiri Hidupnya hanya demi Ivan, kekasih hatinya yang entah berada di mana.
Padahal ia berusaha membuat si gadis bahagia, sebab si gadis telah memberinya banyak keajaiban dalam hari-harinya. Pemuda itu memeluk tubuhnya sendiri, teringat tiga kata sederhana yang belum sempat ia hadiahkan pada si gadis. Ketika embus angin melesat memberantaki rambutnya. Sesaat pemuda itu tercenung, ingatannya tertumbuk pada dongeng Dewi Angin. Mengikuti intuisinya, buru-buru ia selipkan bisikan tiga kata sederhana miliknya pada semilir angin. Entah mengapa ia percaya angin itu pasti membawa tiga kata sederhananya pada si gadis.
“A-khu, zhi-ha, Wri-ah-na.”
Aku, cinta, Riana.
* * * *
Takdir angin adalah bebas-lepas mengembara. Berkelana menuju tempat-tempat sunyi. Menempuh jauh, mengelilingi dunia. Hingga angin berkesiur, menyeberangi samudera, lalu tiba di sebuah jendela yang terbuka. Pemuda tampan itu mendongak dari buku bacaannya. Mata sebiru samudera itu mendarat ke arah jendela kamarnya. Dari sana sekelebat telinganya menangkap suara seseorang memanggilnya. Suara yang teramat familiar. Ia beranjak melintasi ruangan, lalu membuka jendela lebih lebar. Bersamaan mekarnya kemilau keemasan matahari sore di langit, semilir angin menerobos masuk. Menerpa tubuh Pemuda tampan itu. Ia tersentak. Telinganya mengenali suara yang melintas. Suara merdu pada semilir angin. Akhirnya, aku menemukanmu, Ivan.
Pemuda tampan itu berbisik tidak percaya, “Riana.”[]
Solo-Jakarta, 2010-2011
0 comments: