Listen

My New Novel

3B

3:23:00 AM Nikotopia 0 Comments



Entah mengapa di telapak tanganmu; Saya menjelma badai ganas yang memporak-porandakan seluruh daratan, menjelma seekor kupu kecil bersayap kristal terbungkus bias pelangi saat berkepak bebas-lepas membumbung tinggi diantara dedaunan pohon-pohon purba tanpa membawa penderitaan, menjelma hujan yang luruh memahat tubuh agungmu dengan milyaran jarum rintiknya. Dan di telapak tanganmu; saya menjelma Maria Magdalena yang menanamkan benih mulia sebiji sesawi di kalbu kala memberikan cawan hatinya pada seorang lelaki kudus dari Nazareth.

Betina.
Sialan! Kenapa saya tak sanggup menghapus bayanganmu? Padahal sudah dua bungkus rokok plus tiga kaleng bir saya habiskan, wahai lelaki yang datang dari suatu nun yang telah membangkitkan Betina paling kasmaran dalam diri saya. Kenapa sel-sel kelabu otak saya selalu melukiskan gurat wajahmu kemudian menari liar dalam kepala saya? Bahkan saya selalu menemukanmu bertaburan dimana-mana, merekahkan sekuntum senyum; di antara lalu-lalang mobil-mobil jalanan yang plat nomornya bertuliskan RA. Di salah satu tokoh dalam roman percintaan yang tragis ending-nya. Mendenting lembut di lagu The Second You Sleep—Saybia yang membuncah ruang hening sukma. Dan dikehangatan Matahari yang seberkas cahayanya memulas angkasa timur dengan cerlang fajar nila. Oh, Hyang Gusti, sungguh ini sebuah melankolia. Saya butuh obat penawar, Elixir1, atau sesuatu yang bisa mencegah saya terserang penyakit putus-asa.
Saya layangkan pandangan ke udara, asap rokok yang saya hembuskan lindap dilahap senyap. Pada malam-malam jahanam seperti ini, ketika dunia terbaring dibuai mimpi. Saya merasa sangat sepi, merasa sendiri. Tiba-tiba saja, sebentuk kenangan datang menghantui. Kenangan 4 tahun lalu, ketika saya berkenalan dan memenjara perasaan saya pada lelaki itu. Kami bertemu di tingkat paling atas Candi Borobudur, kala itu matahari senja menghiasi cakrawala dengan warna semburat keemasan yang memukau. Dapat saya rasakan sinar hangatnya membelai punggung saat mata saya tertuju pada wajah teduh patung Buddha dalam samadinya. Saya terpesona, hingga–
“Ah, betapa damai mendengar Sang Buddha melantunkan mantra.”
Kuping saya menangkap suara asing yang tidak saya kenal, saya berbalik dan mendapati seorang lelaki gagah, beranting bulu elang di telinga kirinya dan berpakaian lusuh hitam, berjalan santai ke arah saya.
          “Ma-maaf, saya tidak mengerti maksud anda.”
Dia mengernyitkan dahi, “Anda tidak mendengar suara Buddha melantunkan mantra?” Saya menggeleng pelan. Tanpa sungkan-sungkan dia meraih kedua tangan saya lalu menangkupkannya sambil membimbing tangan saya untuk ditaruh di depan dada, “dengarkan baik-baik dan sedikit berkonsentrasi.”
Entah kenapa saya mau saja mencoba mengikuti perintahnya. Untuk beberapa jenak saya tidak mendengar apapun kecuali desir angin yang mengelitik telinga. Lalu–
Saya tersentak. Di antara desis angin, semayup terdengar suara menguar keluar dari patung Sang Buddha dihadapan saya. Ia menyenandungkan mantra suci nan melodius: Om Mani Padme Hum. Om Mani Padme Hum. Om Mani Padme Hum2.
Saya menoleh ke arah lelaki itu melemparkan pandangan tidak percaya, bagai Yasoda yang tidak memercayai di mulut Kresna kecil ia mendapati masa lalu, masa kini, masa depan, Alam Semesta dan dirinya. Lelaki itu menembakkan senyum paling damai. Saya memandang matanya yang begitu teduh. Saya berkaca di sana, merasa utuh, rasanya ada kepingan puzzle yang hilang melengkapi susunan hati.
          “Benarkah suara ini berasal dari—” dia mengulurkan tangannya mengajak saya berjabat tangan.
“Respati.”
Saya mengerutkan dahi.
“Nama saya Respati. Respati Galang Swastika Aji.”
Ketika telapak tangan kami bertemu, entah mengapa saya menjelma badai ganas, kupu kecil, hujan luruh, dan Maria Magdalena. Seutas senyum sekonyong-konyong terburai begitu saja di bibir saya. Desir-desir kehangatan menyusup ke dada. Siapakah engkau, wahai lelaki yang datang dari suatu nun yang telah membangkitkan Betina paling kasmaran dalam diri saya? Adakah engkau Roh yang mengembara ke pelosok belantara asing hingga tersesat di dunia ini? Adakah engkau hadir untuk membunuh kesepian yang lama mengerak di diri?

Bitch.
Ia terkejut ketika pintu kamarnya terbuka dan perempuan pucat yang tak memiliki sehelai pun rambut di kepala, memergoki dirinya melakukan hal yang bagi perempuan itu adalah aib. Ia gemetar ketakutan berdiri membelakangi cermin.
“I. . . Ibu.”
Gelombang ketidakpercayaan menjalari setiap ujung tubuh perempuan itu. “Apa yang kau lakukan, Hah! Apa yang kau lakukan!!” lolong Ibunya meruntuhkan kesunyian yang menyergap mereka, kemudian merangsek masuk dan melepas paksa baju yang dikenakannya. “Ibu tidak percaya kau berbuat seperti ini!”
“Ampun, Ibu. Maafkan saya, Ibu.” Buru-buru ia bersimpuh memeluk kaki Ibunya,
Meledakkan sedu-tangis paling pilu. Napas Ibunya tersengal-sengal tak keruan, merasakan amarah dan kekecewaan bergumul-baur di lubuk terdalam. Kedua mahluk fana itu terbungkus keheningan yang canggung. Hati Ibunya mencelos, tanpa terasa dua cairan hangat turun menggores bukit pipi dan setiap tarikan napas meninggalkan sayatan teramat perih. Kepedihan tak terperi terlukis di wajah mereka berdua.
“Kenapa nak, kenapa kau lakukan ini.” Ibunya mengerang sedih.
Semenjak kejadian itu ia menjadi seorang yang pendiam. Tak selang beberapa bulan, kidung requiem memenuhi ruang tamu rumahnya. Menyelimuti tubuh kaku Ibunya dengan nada-nada sendu. Perempuan itu moksa, sebab kanker payudara yang bersemayam lama. Ketika upacara penguburan selesai, perlahan ia menengadahkan kepala. Menatap awan-awan kelabu bergerak membentuk wajah ayu Ibunya yang terbang menjauh entah kemana, sembari meneteskan butir-butir besar airmata. Pelan-pelan air mata Ibunya berganti gerimis, menyusup masuk ke sekujur tubuhnya. Ia kuyup. Membiarkan airmata dan kepedihannya menyatu dengan hujan yang membasahi Bumi. Sebab baginya, kehilangan seorang Ibu sama seperti tidak ada Matahari yang menyinari Jagad Raya ini.

* * *

Ibu. . . saya datang lagi, menyambangi kubur sunyimu. Untuk memohon restu karena saya telah memiliki payudara ranum seperti milikmu. Maafkan anakmu ini yang senantiasa menaruh batu-batu penderitaan dibatinmu. Apalagi ketika engkau memergoki saya yang berumur tujuh-belas tahun sedang berdandan mengenakan make-up, kutang, serta daster milikmu. Saya ingat, sehari setelah kejadian itu, sebelum saya mengunci rapat segala hal memalukan—yang bagimu adalah aib—dalam kerahasiaan kamar dan guling. Dengan nada bangga saya memberanikan diri untuk mengatakan; bahwa saya adalah Betina, sama seperti Ibu. Engkau menghentikan laju tanganmu yang hendak menghisap rokok di ruang tamu, lalu tegas berkata; “Tidak anakku, kau adalah matahari yang bersinar perkasa. Arjuna yang melesatkan anak panahnya untuk membunuh para Kurawa.” Hmm tidak, Ibu, balas saya lembut. Saya adalah bulan purnama. Srikandi yang gemulai menari indah dibawah siraman sinar peraknya. Engkau membelalakan mata, geram terdengar jelas dalam aliran suaramu sesaat sebelum engkau membalas pernyataan saya dengan raungan; Kau adalah laki-laki dan memiliki penis, titik! Ah, ini hanyalah tubuh, Ibu, saya terus bertahan pada keyakinan saya. Mendadak engkau melucuti seluruh benang yang menempel di seluruh tubuh saya. “Lihat! Kau memiliki penis, kau laki-laki!!” Saya menyadari betapa kelakuan saya adalah pasak kekecewaan yang menghunjam di jiwamu.
          Ibu. . . jujur saja, sejak kecil saya sudah memendam hasrat ingin memiliki payudara ranummu. Sering pada pekat malam terkutuk, seusai engkau memuaskan nafsu pejantan yang engkau bawa dari jalanan. Saya membayangkan; berjingkat diam-diam mengambil pisau di dapur untuk mengiris kedua payudaramu yang terbaring telanjang. Lalu memasangnya pada dada saya. Pun tanpa ragu memotong penis saya, memberikan torehan dalam agar menjadi kuncup mungil bunga, bunga vagina. Sedikit sihir make-up, saya menjadi Betina. Dengan bangga saya melenggang keluar, mengambil posisimu yang berjuang mencari uang untuk kebutuhan, menjajakan diri diperempatan jalan. Mentransformasikan tubuh sebagai pasar; sebuah tempat di mana para lelaki hidung belang bisa menuntaskan letupan birahi paling ganas, serta menemukan seremah firdaus nan liar di lorong vagina dan liang dubur saya.
Tak hanya itu. Agar keparat macam Ayah yang seenaknya meninggalkan kita, sebab kawin lari dengan perawan muda, tahu! Kalau kita bisa Hidup! Tanpa sepersen pun uang yang katanya hasil jerih payahnya. Padahal uang yang dia cari tidak dapat membiayai saya sekolah ataupun makan sebulan kita. Juga kebanggaan saya menjadi anakmu, Ibu. Tidak peduli dulu, ketika saya masih duduk di bangku sekolah. Sering selesai pelajaran bahasa inggris, teman-teman sekelas mengejek saya beramai-ramai “Your mother is a bitch, you’re son of a bitch.” berulang-ulang. Sebab ibu mereka memberitahu, Lonte adalah pekerjaan Ibu.
Tapi tahukah engkau, Ibu? Anak yang katamu laki-laki ini telah membaptiskan diri sebagai Bidadari, menyangkal setiap gerak laki-laki, menghapus nama asli dan menyematkan nama 3B. Barangkali jika engkau masih Hidup di dongeng terkutuk ini, saya yakin engkau segera mendaftarkan diri ke rumah sakit Jiwa. Tahukah engkau kenapa saya begini, Ibu? Adalah perjaka kasmaran bernama Respati. Saya begitu mendambanya. Jujur Ibu, sesuatu yang telah lama saya cari saya temukan di telapak tangannya.
Dan petang ini, setelah mengumpulkan keberanian, kami akan bertemu kembali di Candi Borobudur. Di sana, akan saya tumpahkan seluruh isi mangkuk perasaan saya yang sangat dalam. Lebih dalam dari apapun. Sesuatu yang tak terbinasakan. Sesuatu yang dimiliki setiap mahluk tuhan dalam ruang hatinya. Perasaan ini bagaikan burung-burung dalam sangkar, akan lepas-bebas tak lama lagi.

Banci.
“3B,” (baca; three-be/tribi) kata saya dengan nada genit menggoda. Begitulah saya tiap kali berkenalan dengan pejantan mesum yang akan menjadi langganan saya. Kerap seusai bercinta, langganan saya bertanya, “Kenapa harus 3B? Kenapa nggak Ela, Inda, atau Desy. Itu terdengar wajar. Atau kamu kepingin jadi ‘Miss Universe’ tapi tidak kesampaian, iya? Karena peraturannya harus 3B; Brain, Behaviour, Beauty, bukan Banci?”
Saya mendengus kesal, “Sayangnya, nama saya itu bukan hasil comotan dari slogan untuk produk ajang mengkomersilkan kecantikan.”
“Lalu?”
Saya tersenyum samar, “I will kill you, if you know the meaning of my name.” Ujar saya dengan nada yang mengatakan, hak prerogatif saya memilih nama itu. “Lagipula apa segitu pentingnya nama saya bagimu, padahal saat kita bercinta semalaman kau mendesah-desahkan nama kekasihmu.”
Wajah pelanggan saya memerah, semerah kepala penisnya yang berdiri tegang ketika bercinta. Sementara pelanggan saya yang berbaring telanjang di samping saya merasa jengah, seketika kepingan-kepingan Respati hadir menghubungkan diri saya pada kenangan itu.
Kenangan di puncak Candi Borobudur, kala saya menelanjangi jiwa saya dihadapannya. Namun sayang, selesai menyampaikan keseluruhan inti perasaan saya. Lirih Respati berkata, “Maafkan aku 3B, aku tak memiliki perasaan yang sama kepadamu.”
Hati saya terparut pedih. Segera dia berlalu, melangkahkan kaki beranjak pergi ke suatu nun yang tak pernah saya ketahui. Buru-buru saya meraih wajahnya dan meninggalkan jejak bibir saya pada bibirnya. Dia hanya diam saja. Dari sorot mata layunya, saya memahami; betapa bodohnya saya ini. Respati tidak mungkin menyimpan perasaan seperti saya, dan tak mungkin menyatukan jalur Hidupnya dengan saya. Sejak itu saya tak pernah lagi mendengar kabar tentangnya. Semua hubungan saya ke dirinya terputus. Sejak dia pergi, berkali-kali saya mencoba, tapi saya tak pernah bisa lagi mendengar mantra nan melodius Sang Buddha.
Oh, Respati, seumur hidup saya tak pernah menyesali sesuatu yang selamanya bergolak dalam lubuk ini. Meski hingga kini saya bagai bola kaca yang gempil. Bagai Narcissus yang merasa hampa, sebab kehilangan bayangannya dalam riak danau saat ia hendak berkaca. Kini, saya benar-benar merasa sepi. Dunia diluar sana boleh saja terus berputar menebarkan hiruk-pikuk mimpi. Tapi dalam dunia kecil saya, semua sudah tak berarti. Waktu saya telah berhenti. Mati. Tiada seorangpun merasakan sepi seperti yang saya rasakan kini.
Selirih doa saya dengungkan dikekosongan Candi hati;
Oh, Hyang Gusti;
gunung batuku, kubu pertahananku,
perisai bajaku, tempat aku berlindung.
Saya tahu, kita semua tidak bisa memilih untuk dilahirkan sebagai atau apa. Tetapi, kelak bila saya undur diri dari Hidup penuh kutuk ini, lilitkan saya pada belitan rantai Samsara3, Gusti. Biarkan saya layaknya burung Phoenix yang membakar diri untuk mengada lagi. Dan baptiskan saya menjadi bidadari perawan paling kasmaran. Karena pada telapak tangannya; Saya menjelma Maria Magdalena yang menanamkan benih mulia sebiji sesawi di kalbu kala memberikan cawan hatinya pada seorang lelaki kudus dari Nazareth. Pedih ini tak terperi. Saya terlalu mendambanya, tak ada mahluk yang lebih saya idamkan selain Respati. Lelaki yang telah membangkitkan Betina paling kasmaran dalam diri saya.
Pelanggan saya menepuk bahu saya, menyadarkan saya dari semesta lamunan.
“Hey, kok melamun.” Lalu tangannya beranjak mengusap-usap punggung saya
“Emm. . . tidak kok.”
“3B,”
“Ya.”
“Aku kepingin bercinta lagi.”


~o)O(o~

Solo, April 2007

 Catatan :
1.     Obat yang bisa menyebuhkan segala macam penyakit.
2.     Intan dalam inti Teratai
3.     Reinkarnasi (kelahiran kembali)

Saya dedikasikan Cerita ini untuk para 3B, Lesbian, Gay, dan Seluruh Wanita yang pernah atau sedang mengidap Kanker Payudara. Hidup memang memberikan kado kejutan yang tidak pernah kita duga, mari kita nikmati bersama.


0 comments: