O(nani)
Tersengat kejamnya sepi dan bintang-bintang diatas sana enggan menemaninya bersuci; ia pun mulai mencucup tiap debar kelam ketika dalam kepalanya beribu bayang merasuki.
Perlahan melebur dilembutnya birahi, sembari mendesahkan sembilan-puluh-sembilah nama gusti tanpa takut kehilangan diri. Ia serupa ungunya bunga pagi yang dikecup adzan awal hari untuk terburai di setiap pagi.
Ini bukan sorga-bukan pula neraka. Begitu napas memburu tumbuhlah kuncup luka yang pelan-pelan mekar di dada. Lalu luruh menjelma serpihan bara dan gerimis jingga. Sampai akhirnya ia memahami; Cinta hanyalah stupa yang dipuja-puja. Bukan kitab wengi yang mengajarkannya menjadi perempuan sekaligus lelaki. Bukan anak kunci yang menyibak selubung misteri manunggaling kawulo gusti.
Ia pun melambung. Menuju entah. Entah-Berantah. Memerah, layaknya senja yang melingsir pasrah. Tetapi ia tak membutuhkan lubang atupun liang untuk menitipkan benih-benih kehidupan. Ia hanya butuh ranumnya kerinduan pada sepasang mata yang menyimpan cahaya dan kegelapan.
Dalam deru yang semakin menengang. Ia meledak. Melepaskan raungan nikmat maha-sakit yang membuat dirinya pecah terserak.
Dan pada lorong itu; ia adalah naga yang menjulurkan lidah untuk menggapai ekornya sendiri.
0 comments: